Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengusulkan dibentuknya Otoritas Perlindungan Data Pribadi (PDP) masuk dalam salah satu substansi RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar mendorong Pemerintah dan DPR menjamin kelanjutan pembahasan RUU PDP, sekaligus mengakselerasi prosesnya dengan tetap memperhatikan keterbukaan dan partisipasi, serta memastikan kualitas materi legislasinya, agar dapat diimplementasikan secara efektif.
Terlebih, bila dibandingkan dengan negara?negara G20 lainnya, Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara yang belum memiliki legislasi perlindungan data pribadi yang komprehensif, dengan diawasi oleh sebuah Otoritas perlindungan data pribadi (PDP) yang independen.
Baca Juga: NIK Akan Jadi NPWP pada 2023, Pemerintah Diminta Antisipasi Kebocoran Data
“Oleh sebab itu, agar memiliki legislasi PDP yang setara dengan negara?negara G20 lainnya, selain perlu akselerasi proses pembahasannya, untuk dapat diselesaikan sebelum pertemuan G20, juga penting memastikan hadirnya Otoritas Perlindungan Data Pribadi yang independen,” ucap Wahyudi dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Senin (23/5).
Wahyudi menilai, meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian, sebagaimana usulan Kementerian Komunikasi dan Informatika Kominfo, bukanlah opsi terbaik. Pengalaman dua negara G20, Jepang dan Korea Selatan, pada akhirnya harus melakukan amandemen terhadap UU PDP mereka, untuk kemudian membentuk Otoritas PDP yang independen.
“Hal itu dapat menjadi contoh bagi Indonesia, untuk sedari awal mendesain efektivitas UU PDP, termasuk dalam penegakannya, melalui pembentukan Otoritas PDP yang independen,” ujar Wahyudi.
Elsam menilai, secara konstitusional, ketiadaan Otoritas PDP yang independen, juga akan berimplikasi pada sulitnya mencapai tujuan pelindungan data pribadi, sebagai bagian dari hak atas privasi warga negara, yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Ada beberapa pertimbangan mendasar perihal urgensi pembentukan Otoritas PDP yang independen. Pertama, UU PDP memiliki jangkauan material yang mengikat entitas publik dan privat, sehingga implementasinya hanya akan efektif jika diawasi oleh Otoritas PDP independen, bukan bagian dari kementerian. Kementerian juga merupakan bagian dari pengendali data, yang memiliki kewajiban kepatuhan pada UU PDP.
Kedua, meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian/lembaga, menjadikannya sangat bergantung sepenuhnya kepada sistem pemerintahan. Baik dari segi pengambilan keputusan, wewenang, pengisian jabatan, hingga keuangan. Ketika ditempatkan di bawah Kominfo misalnya, tentu wewenangnya tidak akan bisa lebih luas dari tugas, fungsi, dan wewenang Kominfo, sebagaimana diatur oleh UU Kementerian Negara.
Mengingat, pada prinsipnya LPNK adalah institusi pemerintah, yang berada di bawah kendali eksekutif. Dengan begitu, Otoritas PDP dapat sewaktu?waktu dibubarkan Presiden, jika keberadaan lembaga ini dinilai tidak lagi sejalan dengan agenda politik dan prioritas presiden yang sedang menjabat.
“Pilihan ini tentu menyebabkan Otoritas PDP tidak memiliki kedudukan yang pasti, terkait eksistensi dan keberlanjutannya. Misalnya saja, Presiden Joko Widodo pernah membubarkan 10 LPNK melalui Peraturan Presiden No. 112/2020, salah satunya adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang berada di bawah Kominfo,” ujar Wahyudi.
Ketiga, menempatkan Otoritas PDP sebagai badan di bawah kementerian atau LPNK, akan berisiko besar pada ketidak?efektifan dalam pengambilan keputusan. Sebuah Otoritas PDP menghendaki model kepemimpinan lembaga yang bersifat kolegial?kolektif. Model kepemimpinan kolegial?kolektif menghendaki kelembagaan yang bersifat multi?members commissioner, dengan ketua semata?mata hanya sebagai spoke persons, bukan pengambil keputusan tertinggi.
Pengambilan keputusan tertinggi ada pada rapat pimpinan, bisa melalui musyawarah atau voting. Dalam proses pemilihan komisioner tersebut, setidaknya harus melibatkan dua otoritas politik, misalnya Presiden dan DPR, tidak bisa dilakukan penunjukan langsung oleh satu otoritas politik, misalnya Presiden atau bahkan Menteri.
“Keterlibatan dua otoritas politik tersebut bisa dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau bisa juga dalam bentuk pemberian pertimbangan,” ucap Wahyudi.
Keempat, usulan membentuk mekanisme pengawasan khusus terhadap Otoritas PDP, bila berada di bawah Kominfo, seperti halnya pengawasan terhadap Badan Intelijen Negara (BIN), juga tidak tepat. Sebab, Otoritas PDP bekerja untuk memastikan semua sektor (pemerintah dan swasta) patuh pada UU PDP, dengan menekankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Jadi, Otoritas PDP bukan bekerja untuk melayani kepentingan pemerintah, tetapi justru mengawasi kepatuhan pemerintah terhadap hukum PDP.
“Pengawasan terhadap Otoritas PDP akan dilakukan oleh Presiden dan DPR secara bersamaan, melalui penyerahan laporan kinerja secara berkala, dan sejumlah mekanisme lain yang diatur dalam UU PDP,” terang Wahyudi.
Kelima, jika Otoritas PDP didudukkan sebagai institusi pemerintah, maka fungsi?fungsi yang melekat dan seharusnya menjadi tanggung jawab lembaga ini, tidak akan bisa dilaksanakan secara efektif. Padahal salah satu fungsi penting Otoritas PDP adalah menerbitkan regulasi?regulasi teknis dan pendoman yang akan menjangkau badan publik dan privat sebagai pengendali/pemroses data.
Baca Juga: Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi Jalan di Tempat
Selanjutnya, terkait fungsi penyelesaian sengketa melalui ajudikasi non?litigasi, juga menjadi problematik, mengingat wewenang ini secara pengaturan dan praktik hanya dimiliki oleh lembaga negara independen (LNS), seperti KPPU, Ombudsman, dan Komisi Informasi.
Sedangkan, Kominfo dan LPNK secara hukum tidak dimungkinkan untuk diberikan wewenang ajudikasi, dikarenakan mereka pada dasarnya adalah institusi pemerintah (eksekutif).
Tanpa adanya wewenang melakukan ajudikasi non?litigasi, Otoritas PDP yang dibentuk di bawah pemerintah tidak akan mungkin melakukan penjatuhan sanksi denda. Sebab penjatuhan sanksi denda hanya mungkin dilakukan melalui sebuah mekanisme ajudikasi, yang putusannya dapat dibanding ke pengadilan, untuk memastikan adanya due process of law.
“DPR dan Pemerintah memastikan pembentukan Otoritas PDP yang independen, mengingat hal tersebut merupakan fondasi untuk memastikan efektif dan optimalnya implementasi UU PDP di Indonesia,” ucap Wahyudi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News