Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh meneken perjanjian kerja sama tentang pemanfaatan nomor induk kependudukan, data kependudukan, dan kartu tanda penduduk elektronik dalam layanan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kemenkeu pada Jumat (20/5).
Langkah ini merupakan langkah awal mempersiapkan sistem informasi dan teknologi penunjang integrasi data NIK dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Nantinya NIK akan menjadi NPWP akan berlaku pada tahun 2023.
Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, rencana pemerintah menggunakan BIK menjadi NPWP sebagai indentitas wajib pajak di nilai merupakan langkah yang efektif dalam menyederhanakan administrasi masyarakat demi kepentingan nasional.
Hal tersebut telah tertuang Pada Amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi peraturan Perpajakan yakni penggunaan NIK sebagai NPWP bagi wajib pajak orang pribadi. Ini juga tercantum dalam amanat UU Nomor 83 Tahun 2021 Tentang Pencantuman dan pemanfaatan NIK dan/atau NPWP dalam Pelayanan Publik. Yaitu kewajiban pencantuman NIK & NPWP dalampPelayanan publik untuk pemutakhiran data kependudukan dan basis data perpajakan.
Tentunya dengan adanya Amanat UU tersebut maka sudah sewajarnya pemerintah menjalankan. Sehingga DPR mengaharapkan agar pemerintah kembali mempelajari dan/atau melakukan proses integritas NIK dan NPWP sehingga data penduduk aman.
“Yang perlu diwaspadai serta mengantisipasi upaya oknum yang ingin mengambil keuntungan serta membocorkan data penduduk tersebut,” ujar Kamrussamad saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (22/5).
Baca Juga: Ditjen Pajak dan Kemendagri Integrasikan Data NIK Jadi NPWP
Kamrussamad meminta pemerintah melakukan proses integrasi NIK dan NPWP dengan baik. Karena proses integrasi bisa saja dijadikan bumerang. Salah satu bumerang yang dimaksudnya adalah penyalahgunaan NIK oleh orang yang tak bertangungjawab.
Hal tersebut akan berakibat fatal apabila disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sebab, NIK tersebut terintegrasi dengan berbagai macam data Seperti BPJS dan NPWP.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan pemerintah adalah penguatan situs resmi pemerintah agar tidak mudah diretas. “Sehingga kami berharap agar sebelum melakukan integrasi tesebut sebaiknya pemerintah melakukan observasi terlebih dahulu dan melakukan upaya penguatan situs pemerintah,” terang Kamrussamad.
Lebih lanjut, dari aspek legislasi, Kamrussamad mengatakan, untuk mencegah kebocoran data maka RUU Perlindungan Data Pribadi harus segera dituntaskan sebelum 2023.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mempunyai kewenangan-kewenangan teknis berkaitan dengan keamanan atau teknologi keamanan di semua penyelenggara sistem elektronik nasional.
“Karenanya, BSSN juga harus mempersiapkan infrastruktur teknis keamanan data pribadi tingkat nasional,” ucap Kamrussamad.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, praktek penggunaan NIK yang juga digunakan menjadi nomor wajip pajak telah lumrah digunakan di negara lain. Seperti di Amerika Serikat, negara-negara di Eropa dan sejumlah negara Asia lainnya.
Hanya, yang menjadi tantangan di Indonesia, menurut Wahyudi, adalah pengembangan sistem digital identity. Hal ini dalam konteks pengembangan identitas digital dimana nantinya setiap penduduk akan diberikan identitas digital tertentu yang terangkum berbagai data, termasuk salah satunya untuk kepentingan perpajakan.
“Tantangan di Indonesia adalah belum adanya aturan perlindungan data pribadi yang memadai yang baik,” ucap Wahyudi kepada Kontan.
Wahyudi mengatakan, jika mengacu pada pasal 58 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dikatakan 31 item data kependudukan termasuk NIK yang nantinya akan berfungsi sebagai NPWP hanya semata-mata dikatakan sebagai data kependudukan. Bukan ditempatkan sebagai data pribadi yang harus dilindungi.
“Ini problematis karena dalam konteks pemrosesannya, pengelolaannya itu tidak menerapkan prinsip prinsip dalam perlindungan data pribadi,” ujar Wahyudi.
Sebab itu, lanjut Wahyudi, pilihan integrasi NIK menjadi NPWP harus direspond dengan percepatan penyelesaian RUU Perlindungan Data Pribadi sehingga status perlindungannya jelas. Sebab, hari ini jika seseorang ingin mengakses suatu layanan tertentu maka orang tersebut diminta KTP yang terdapat data NIK.
Hal itu yang membuat NIK dapat diketahui dengan mudah oleh orang lain. Padahal, NIK mesti dilindungi sedemikian rupa yang hanya bisa diakses oleh pemilik data dan otoritas tertentu yang diberikan akses mengetahui, membuka dan/atau memproses data tersebut.
“Tidak kemudian bisa dengan mudah diakses atau digunakan atau diketahui oleh orang lain, karena dengan penyatuan antara NIK dan NPWP dengan satu nomor berarti resiko keamanan atas data itu semakin rentan disalahguanakan oleh pihak pihak lain,” ucap Wahyudi.
Apabila belum ada UU Perlindungan Data Pribadi, Wahyudi menyatakan, pemanfaatan NIK sebagai NPWP disiapkan pedoman dan tata perangkat yang mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan data pribadi secara komprehensif. Misalnya Kementerian Dalam Negeri menerbitkan aturan tentang bagaimana penerapan prinsip perlindungan data pribadi dalam tata kelola kependudukan, termasuk pemanfaatan NIK untuk berbagai keperluan.
“Karena MoU tidak semata dilakukan antara Kemendagri dan Kementerian Keuangan, MoU jumlahnya ribuan, bahkan dengan sektor swasta. Nah bagaimana memastikan perlindungan data dan keamanan data dari seluruh akses data yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada beragam institusi tersebut,” imbuh Wahyudi.
Baca Juga: NIK akan Jadi NPWP pada 2023, Bagaimana Cara Kerjanya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News