kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.310.000   -177.000   -7,12%
  • USD/IDR 16.605   -5,00   -0,03%
  • IDX 8.153   -85,53   -1,04%
  • KOMPAS100 1.129   -15,68   -1,37%
  • LQ45 806   -13,59   -1,66%
  • ISSI 288   -1,98   -0,68%
  • IDX30 422   -6,44   -1,50%
  • IDXHIDIV20 481   -5,50   -1,13%
  • IDX80 125   -1,86   -1,47%
  • IDXV30 134   -0,30   -0,22%
  • IDXQ30 134   -1,81   -1,33%

Pemerintah Didorong Susun Roadmap Komprehensif Industri Hasil Tembakau


Rabu, 22 Oktober 2025 / 20:06 WIB
Pemerintah Didorong Susun Roadmap Komprehensif Industri Hasil Tembakau
ILUSTRASI. Warga menjemur tembakau rajangan di tanah lapang Desa Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (1/10/2025). usat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) merekomendasikan agar pemerintah segera menyusun roadmap (peta jalan) Industri Hasil Tembakau (IHT) yang komprehensif, terukur, dan adaptif terhadap dinamika pasar.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) merekomendasikan agar pemerintah segera menyusun roadmap (peta jalan) Industri Hasil Tembakau (IHT) yang komprehensif, terukur, dan adaptif terhadap dinamika pasar.

Ketua PPKE FEB UB, Candra Fajri Ananda menegaskan bahwa roadmap tersebut penting untuk memastikan kebijakan cukai, pengawasan rokok ilegal, serta pengaturan rokok elektrik dan produk nikotin alternatif berjalan secara terintegrasi dan berkelanjutan.

“Peta jalan ini harus disusun secara kolaboratif dengan melibatkan akademisi dan pelaku industri agar kebijakannya berbasis bukti (evidence-based policy) dan mampu mendorong transformasi IHT menuju sektor yang lebih berdaya saing dan berkeadilan,” ujar Candra seperti dikuti dari siaran pers, Rabu (22/10/2025).

Baca Juga: Menakar Tantangan Dirjen Bea Cukai yang Baru di Industri Hasil Tembakau

Candra menjelaskan bahwa rekomendasi tersebut berangkat dari hasil kajian PPKE FEB UB yang menemukan ketidakseimbangan kebijakan antara rokok konvensional, rokok ilegal, dan rokok elektrik. Kondisi ini memicu perubahan perilaku konsumsi masyarakat dan mengancam keberlangsungan industri kretek nasional.

Menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) 2023, volume produksi rokok nasional turun signifikan dari 348,1 miliar batang pada 2015 menjadi 318,15 miliar batang pada 2023. 

“Penurunan ini mencerminkan tekanan besar terhadap industri kretek, padahal sektor ini merupakan penopang ekonomi sekaligus bagian dari identitas budaya bangsa,” kata Candra.

Selain itu, tren konsumsi masyarakat juga berubah. Rokok elektrik kini makin digemari, terutama oleh remaja dan dewasa muda. Lebih dari 56% pengguna rokok elektrik berusia 15–19 tahun. 

Baca Juga: Pelaku Industri Minta Pemerintah Moratorium Kenaikan Cukai Hasil Tembakau

“Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda mulai menjadikan rokok elektrik sebagai gaya hidup, yang berpotensi melemahkan posisi industri kretek dan memunculkan tantangan baru bagi kesehatan masyarakat,” jelasnya.

Hasil kajian PPKE FEB UB juga menunjukkan bahwa kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) setiap tahun tidak berdampak signifikan pada penurunan prevalensi merokok, yang masih stagnan di kisaran 28–29 persen pada 2024–2025.

“Kenaikan harga justru mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal atau rokok elektrik yang lebih murah. Artinya, kebijakan cukai belum efektif mengendalikan konsumsi tembakau secara menyeluruh,” ujar Prof. Candra.

Maraknya peredaran rokok ilegal turut memperburuk situasi. Data DJBC mencatat peredaran rokok ilegal naik dari 5,5% pada 2022 menjadi 6,9% pada 2023. “Ini menunjukkan lemahnya pengawasan lapangan dan ketidakefektifan kebijakan pengendalian tembakau,” tambahnya.

Baca Juga: GAPPRI: Penyusunan Roadmap Cukai Rokok 2026-2029 Perlu Libatkan Seluruh Stakeholders

Menurut PPKE FEB UB, ketidakseimbangan regulasi antara rokok legal dan ilegal—seperti perbedaan harga, lemahnya pengawasan, dan mudahnya akses pembelian—mendorong masyarakat berpendapatan rendah untuk beralih ke rokok ilegal.

“Faktor harga yang murah, ketersediaan produk, dan pengawasan yang lemah menjadi penentu utama keputusan konsumen membeli rokok ilegal. Kelompok berpendapatan rendah dan usia muda menjadi yang paling rentan terhadap pergeseran ini,” tutup Candra.

Selanjutnya: BI Tahan BI Rate di Level 4,75%, Ini Tanggapan Bank Mandiri

Menarik Dibaca: Bunda Clinic MRT Dukuh Atas Diresmikan, Fokus Pada Vaksinasi dan Wellness

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×