Reporter: Leni Wandira | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Proses pembayaran utang rafaksi minyak goreng oleh pemerintah kepada pengusaha masih mengalami penundaan yang belum terselesaikan. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian yang dialami pengusaha retail selama lebih dari dua tahun terkait pembayaran selisih harga oleh Kementerian Perdagangan.
Menanggapi situasi tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim, menjelaskan bahwa pembahasan mengenai rafaksi membutuhkan waktu karena memerlukan koordinasi antara Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.
Isy menyatakan, "Rapat mengenai rafaksi masih tertunda karena masih ada rapat antar kementerian koordinator yang belum selesai."
Penundaan rapat tersebut disebabkan oleh rapat terbatas yang membahas stabilitas harga komoditas pangan, terutama jagung, gula, dan beras, yang berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (09/10/2023).
Baca Juga: Kemendag Pelajari Usulan GIMNI Soal Penyelesaian Utang Rafaksi Minyak Goreng
"Rapat tertunda karena bersamaan dengan rapat terbatas, jadi harus ditunda dulu. Oleh karena itu, belum ada kelanjutan yang pasti," ungkap Isy.
Isy juga mengaku bahwa belum dapat dipastikan kapan rapat mengenai utang rafaksi akan dijadwalkan ulang, karena perlu keselarasan jadwal antara Menteri dan pemangku kepentingan terkait.
"Tidak semudah itu, perlu mengatur jadwal Menteri. Ada banyak Menteri yang harus diundang," tambah Isy.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Nicholas Mandey, mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam membayar utang tersebut. Menurut Roy, proses pembayaran rafaksi hanya sebatas pembahasan mengenai jumlah total yang harus dibayar pemerintah kepada pengusaha minyak goreng.
Baca Juga: Utang Rafaksi Minyak Goreng Tak Beres-Beres, Peritel Minta Ini ke Jokowi
Roy juga menegaskan bahwa rapat koordinasi yang dihadiri oleh berbagai K/L, seperti Kemenko Perekonomian, Polhukam, Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perdagangan, hingga Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), tidak melibatkan pihak peritel.
"Rakornas telah dilakukan pada hari Kamis setelah Pemilu, tanggal 15 Februari lalu. Namun, kami tidak diundang. Kami hanya mendapat informasi bahwa pembayaran rafaksi akan dilakukan berdasarkan perhitungan Sucofindo," kata Roy.
Roy menyimpulkan bahwa pemerintah, khususnya Kemendag, tidak memiliki niat untuk menyelesaikan pembayaran utang rafaksi.
"Kami tidak melihat niat untuk membayar. Angka pembayaran hanya menjadi prioritas kedua bagi kami. Kami memerlukan informasi tentang perhitungan, sumber anggaran, dan prosedur pembayaran," ujar Roy.
Baca Juga: Peritel Akan Surati Jokowi soal Utang Rafaksi Minyak Goreng yang Belum Juga Dibayar
Lebih lanjut, Roy memastikan bahwa akan ada pertemuan atau diskusi lebih lanjut dengan pemerintah mengenai hal ini, meskipun waktu dan tempatnya masih belum dapat dipastikan.
"Kami akan mengadakan pertemuan lebih lanjut untuk membahas detail teknis pembayaran. Namun, kami telah mendapat informasi bahwa Kemendag belum siap untuk mengadakan pertemuan detail," tambahnya.
Polemik pembayaran utang rafaksi ini sudah berlangsung selama satu tahun, dimulai dari penerapan kebijakan satu harga minyak goreng pada tahun 2022.
Melalui Permendag No. 3/2022, pemerintah mewajibkan pengusaha ritel untuk menjual minyak goreng kemasan satu harga Rp 14.000 per liter mulai 19 Januari 2022. Namun, kebijakan tersebut hanya berlaku hingga akhir Januari dan digantikan oleh Permendag No. 6/2022 tentang penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.
Sementara itu, modal pembelian minyak goreng oleh pengusaha ritel saat itu sudah mencapai Rp 17.650 per liter. Pasal 11 dari Permendag No. 3/2022 menetapkan bahwa selisih harga tersebut akan dibayar menggunakan dana BPDPKS paling lambat 17 hari kerja setelah kelengkapan dokumen pembayaran berdasarkan hasil verifikasi.
Baca Juga: Polemik Rafaksi Minyak Goreng, BPDPKS Dukung Pemangkasan Pajak Perusahaan
Aprindo mengklaim bahwa utang rafaksi yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp 344 miliar akibat penerapan kebijakan tersebut. Namun, Kemendag berdalih bahwa belum ada dasar hukum untuk pembayaran tersebut setelah regulasi pengadaan minyak goreng dicabut.
Kemendag kemudian meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung, yang menyatakan bahwa pemerintah tetap harus membayarkan utang tersebut. Meskipun demikian, Kemendag belum mengeluarkan rekomendasi pembayaran karena terdapat perbedaan angka antara klaim pembayaran dari pelaku usaha dan PT Sucofindo sebagai surveyor independen pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News