Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Restitusi pajak atau pengembalian uang dari Wajib Pajak (WP) Badan semakin longgar. Pemerintah kali ini memberikan ruang bagi industri farmasi untuk merestitusi pajak.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas PMK Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Baca Juga: INDEF: PMN untuk BUMN makin bebani APBN
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menjelaskan pelebaran restitusi pajak tersebut bertujuan membantu Program Jaminan Kesehatan Nasional serta likuiditas WP yang melakukan transaksi dengan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
DJP menganggap pemerintah memang perlu melakukan perubahan ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah (PKPBR). Sehingga dengan aturan ini dapat diberikan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran pajak
PMK yang mulai berlaku pada 19 Agustus 2019 ini memasukkan pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan dalam daftar PKPBR yang berarti kepada mereka diberikan pengembalian pendahuluan atau percepatan restitusi atas kelebihan pembayaran PPN pada setiap masa pajak.
Baca Juga: Dukung program Jaminan Kesehatan nasional, aturan pajak ini direvisi
Yoga menilai pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan sering bertransaksi dengan rumah sakit negeri sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan mitra Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Dengan restitusi PPN yang dipercepat, maka pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan akan terbantu likuiditasnya dan pada akhirnya skema ini mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional,” kata Hestu kepada Kontan.co.id, Sabtu (24/8).
Pada dasarnya restitusi pajak adalah pengembalian pajak yang merupakan hak dari WP, prosedur pengembalian pendahuluan dalam PMK ini hanya mempercepat prosesnya untuk membantu likuiditas. “Jadi secara agregat tidak mengancam penerimaan pajak,” ujar Yoga.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowo memandang PMK Nomor 117/PMK.03/2019 tidak dipungkiri bisa menggerus penerimaan pajak.
Baca Juga: Beri kemudahan penyetoran penerimaan negara, Kemenkeu rilis MPN G3
Tetapi, memang ini adalah hak WP dan secara prosedur pun butuh pembahasan lebih lanjut tentang pengaju terhadap kriteria penerima restitusi pajak.
Yustinus menilai secara substansi PMK teranyar masih sama dengan PMK Nomor 39/PMK.03/2018. “Saya rasa itu fasilitas yg bagus, ada prosedur juga yang perlu dijalankan jadi tidak masalah. Yang penting ukuran kinerja DJP perlu dimoderasi dengan banyaknya insentif” kata Yustinus.
Dia menambahkan kebijakan restitusi pajak sudah cukup baik dan terbukti membantu Wajib pajak (WP). Sehingga, percepatan restitusi pajak secara umum layak diteruskan.
Namun, dia mengimbau bahwa perlu pengetatan dan pengawasan ketika menentukan syarat atau kriteria WP yang betul-betul sesuai.
Baca Juga: Peluncuran MPN generasi ketiga dapat mendorong kepatuhan pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News