kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pakar epidemiologi: Setop rapid test, sebaiknya perbanyak tes PCR


Kamis, 02 Juli 2020 / 12:43 WIB
Pakar epidemiologi: Setop rapid test, sebaiknya perbanyak tes PCR
ILUSTRASI. Ilustrasi Rapid Test. KONTAN/Baihaki/17/6/2020


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyarankan agar pelaksanaan rapid test atau tes cepat Covid-19 sebaiknya dihentikan. Menurut Pandu, saat ini yang harus diperbanyak justru pemeriksaan dengan metode polymerase chain reaction ( PCR).

Melansir alodokter.com, PCR adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus. Saat ini, PCR juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit Covid-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona.

"Sebaiknya rapid test-rapid test ini disetop. Tingkatkan saja PCR," ujar Pandu kepada Kompas.com, Kamis (2/7/2020).

Baca Juga: Maskapai pesawat Citilink beri layanan rapid test corona gratis, ini cara & syaratnya

Pandu menyebutkan, rapid test tidak masuk dalam sistem pendataan kasus Covid-19 oleh pemerintah. Dia juga menilai rapid test mengganggu fokus pemerintah dalam memperbanyak tes PCR. "Jadi sekarang fokus saja ke PCR yang juga merupakan bagian dari contact tracing yang masif," ujar Pandu.

Namun, dia juga menyarankan agar pemerintah mengutamakan tes bukan berdasarkan kepada penghitungan spesimen saja. Adapun, yang harus dijadikan patokan adalah tes kepada orang per orang. "Jadi sekarang berapa ribu orang per pekan," ujar Pandu.

Baca Juga: Rumah Sakit Waspadai Gelombang Kedua Virus Corona (Covid-19)

Sebelumya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto menjelaskan perihal pelaksanaan rapid test yang hasilnya tidak masuk dalam sistem pelaporan data Covid-19 yang disusun pemerintah.

Menurut Yurianto, rapid test merupakan deteksi awal terhadap individu yang diduga terinfeksi Covid-19. Dugaan tersebut berdasarkan contact tracing maupun kajian epidemiologi di suatu daerah. "Itu hanya untuk screening awal terhadap dugaan terinfeksi dari tracing maupun kajian epidemiologi," ujar Yuri saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (27/6/2020).

Meski tidak masuk dalam pendataan pemerintah pusat, tetapi datanya disimpan oleh masing-masing daerah. "Rapid test datanya disimpan daerah," ungkap Yuri.

Yuri menjelaskan, sesuai standar WHO, pemeriksaan spesimen harus menggunakan antigen. Karenanya, pemerintah menggunakan dua metode pengetesan yakni Real Time-PCR dan tes cepat molekuler (TCM) untuk memastikan apakah individu telah terjangkit Covid-19 atau tidak.

Baca Juga: UPDATE corona di Jakarta 1 Juli 2020, positif 11.482, sembuh 6.680, meninggal 644

"Sedangkan rapid test, yang berbasis serologi darah, tidak masuk dalam standar tersebut," tutur Yuri.

Pada Senin (29/6/2020) lalu, Yuri mengungkapkan sudah ada 782.383 spesimen terduga Covid-19 yang diperiksa secara nasional. Namun, jika dirata-rata, hingga saat ini Indonesia telah memeriksa 2.779 spesimen Covid-19 per 1 juta penduduk.

Yuri lantas membandingkan angka ini dengan capaian pemeriksaan spesimen di Jepang. Dia mengungkapkan, hingga saat ini Jepang telah memeriksa 3.484 spesimen per 1 juta penduduk.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ahli Epidemiologi: Stop Rapid Test, Fokus Perbanyak Tes PCR"
Penulis : Dian Erika Nugraheny
Editor : Bayu Galih

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×