Reporter: Adinda Ade Mustami, Andri Indradie, Asep Munazat Zatnika, Benedictus Bina Naratama, Margareta Engge Kharismawati, Nina Dwiantika | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Strategi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengejar setoran pajak melalui sejumlah peraturan, mulai menuai polemik. Salah satunya adalah kebijakan Ditjen Pajak yang menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito yang terbit pada 26 Januari 2015 lalu.
Dalam beleid itu, ditjen pajak mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misal, nasabah pemilik deposito 100 deposan, maka yang wajib dilaporkan harus 100 deposan. Selama ini, perbankan memberikan data bukti potong PPh deposito dan tabungan tidak menyertakan bukti potong setiap nasabah.
Nah, dengan formulir yang lebih rinci, petugas pajak bisa mengetahui jumlah deposan (lihat infografis).
Para nasabah bank kabarnya mulai ketar-ketir. Mereka merasa tak nyaman lagi menyimpan uangnya di produk perbankan seperti tabungan dan deposito. Sumber KONTAN di sebuah bank nasional, mengatakan, Kamis kemarin (12/2), banyak nasabah bank-nya menarik dana secara tiba-tiba bernilai miliaran rupiah. Usut punya usut, pemicunya adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor 01/PJ/2015. "Mereka takut petugas pajak mendatanginya dan menyuruh merevisi laporan SPT PPh pajak, karena punya kekayaan lebih," si sumber, kemarin (12/2).
Tanggapan bank
Maklum, masih menurut sumber tersebut, tidak semua nasabah mau melaporkan duitnya yang ada di deposito ke SPT PPh. Karena itu, dia menyayangkan kebijakan Ditjen Pajak. Apalagi, sebelumnya tak ada sosialisasi dari ditjen pajak kepada perbankan dalam menerapkan aturan ini.
Namun demikian, sejumlah bank yang dihubungi KONTAN menanggapi peraturan dirjen pajak tersebut dengan beragam. Ada bank yang tidak khawatir dengan peraturan tersebut, namun ada pula bank yang tidak bisa menutupi kekhawatirannya.
Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati mengatakan para nasabah di BCA tidak menyampaikan kekhawatirannya. Sampai kemarin nasabah deposito di BCA dianggap masih cukup loyal. Namun demikian, Inge akan mengecek kepada para deposannya seputar peraturan pajak.
Tapi bagi Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP, peraturan pajak berpotensi meresahkan deposan. Kata Parwati, perlu ada keselarasan mengenai aturan kewajiban melaporkan bukti pemotongan PPh giro dan deposito. Pasalnya, aturan ini akan berdampak terhadap bisnis bank. Terlebih, ada peraturan perbankan harus merahasiakan data nasabah. "Akan ada dampak psiokologis yang mungkin saja bisa terjadi," kata Parwati.
Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam membuat peraturan pajak agar tidak kontraproduktif. Ia setuju, ada potensi pajak yang cukup besar dari wajib pajak di industri perbankan. Tapi, perlu dipertimbangkan dampak kepercayaan nasabah terhadap bank. "Peraturan itu bisa membuat deposan tidak nyaman karena aparat pajak bisa mengetahui simpanannya di bank, ini bisa memicu pelarian simpanan ke luar negeri," kata Yustinus.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengakui, ada sejumlah aturan pajak yang dapat meresahkan masyarakat. Karena itu, ditjen pajak akan meninjau kembali aturan pajak yang meresahkan masyarakat. "Kita lihat nanti, apakah kebijakan itu akan kita pending atau diatur lebih lanjut," kata Sigit.
Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak No Per-01/PJ/2015
Tentang perubahan atas peraturan direktur jenderal pajak nomor Per-53/PJ/2009 tentang bentuk formulir Surat Pemberitahuan masa Pajak Penghasilan (PPh) final pasal 4 ayat 2 (PPh bunga deposito dan tabungan), formulir Surat Pemberitahuan masa PPh pasal 15 (usaha pelayaran), pasal 22 (impor barang mewah), pasal 23 (modal/jasa/hadiah), dan pasal 26 (wajib pajak luar negeri di Indonesia), dan formulir bukti pemotongan/pemungutannya.
Pasal 1
1. Bentuk formulir Surat Pemberitahuan masa PPh Final Pasal 4 Ayat 2, Surat Pemberitahuan masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26, dan Bukti Pemotongan/Pemungutannya diubah. Catatan: Formulir terbaru lebih detil disertai bukti potong pajak atas bunga deposito dan simpanan lainnya.
Pasal 2
1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat 2 dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) dan dokumen elektronik.
2. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), bentuk, isi, dan ukuran suratnya harus sesuai dengan formulir baru.
3. Surat Pemberitahuan berbentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh Pemotong yang melakukan pemotongan dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dan 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
4. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik, Pemotong harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 3
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sejak Masa Pajak Maret 2015.
(Sumber: Ditjen Pajak)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News