kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.513.000   9.000   0,60%
  • USD/IDR 15.875   60,00   0,38%
  • IDX 7.200   -45,73   -0,63%
  • KOMPAS100 1.102   -8,07   -0,73%
  • LQ45 873   -6,30   -0,72%
  • ISSI 220   -2,35   -1,06%
  • IDX30 448   -4,16   -0,92%
  • IDXHIDIV20 539   -6,56   -1,20%
  • IDX80 126   -0,89   -0,70%
  • IDXV30 132   -4,54   -3,33%
  • IDXQ30 148   -1,52   -1,02%

OECD Sarankan Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak Diturunkan, Ini Kata Pengamat Pajak


Kamis, 28 November 2024 / 17:34 WIB
OECD Sarankan Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak Diturunkan, Ini Kata Pengamat Pajak
ILUSTRASI. Pegawai melayani wajib pajak yang akan melakukan pemadanan NIK-NPWP di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Wilayah Sumatera Utara I, Medan, Sumut, Senin (18/11/2024). OECD menyarankan pemerintah Indonesia menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) guna meningkatkan penerimaan negara.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyarankan agar pemerintah Indonesia menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) guna meningkatkan penerimaan negara.

Berdasarkan laporan OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menilai ambang batas PTKP Orang Pribadi di Indonesia masih terlalu tinggi.

OECD menyebut, besaran PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) adalah Rp 54 juta setahun, alias Rp 4,5 juta per bulan. Angka ini setara dengan 65% Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia.

Baca Juga: DJP Sebut Kenaikan PPN 12% Sudah Ditetapkan Sejak Lama

"Akibatnya, kelas menengah yang sedang tumbuh sebagian besar terlindungi dari PIT (Pajak Penghasilan)," tulis OECD dalam laporannya, dikutip Kamis (28/11).

OECD menyebut, pada tahun 2017, hanya sekitar 10% masyarakat yang membayar PPh. Ini berbeda dengan rata-rata warga negara ASEAN yang mencapai 15%.

"Reformasi perlakuan pajak atas manfaat dalam bentuk barang akan meningkatkan basis pajak. Namun, masih ada ruang untuk mengurangi ambang batas perpajakan," tulis OECD.

Menanggapi hal tersebut, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai bahwa besaran PTKP di Indonesia saat ini memang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Baca Juga: Komisi Informasi Pusat: Masyarakat Terbebani Pungutan Pajak yang Semakin Meningkat

Kendati begitu, Raden menyebut, isu PTKP ini tidak hanya berkaitan dengan aspek fiskal, melainkan juga sangat politis. Jika PTKP diturunkan, maka akan muncul isu bahwa pemerintah memajaki masyarakat berpenghasilan rendah.

"Buruh dan pegawai yang memiliki penghasilan kecil jadi dipajaki. Yang sebelumnya tidak kena pajak, jadi kena pajak," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Kamis (28/11).

Di sisi lain, penurunan PTKP justru akan berdampak pada perubahan tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21. "Sudah pasti jika PTKP turun, tarif di TER baru jadi lebih besar," katanya.

Baca Juga: DJP Kemenkeu Masih Kaji Perubahan Skema Tarif Efektif PPh 21

Raden juga menyoroti, jika PTKP dinaikkan lebih tinggi, justru jumlah pekerja yang tidak membayar pajak akan semakin banyak. Hal ini tentu berdampak pada penurunan penerimaan negara dari PPh.

Senada, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa penurunan ambang PTKP ini akan memicu penolakan yang luas dari masyarakat.

"Jika pemerintah mengambil kebijakan ini pastinya akan mengundang ramai penolakan. Saya kira waktunya tidak tepat," kata Fajry.

Selanjutnya: Sederet Emiten Tengah Lakukan Buyback, Intip Rekomendasi Sahamnya

Menarik Dibaca: 8 Rekomendasi Makanan Pencegah Kanker Terbaik, Konsumsi Lebih Sering!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×