Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Dunia merekomendasikan Indonesia untuk menurunkan threshold atau ambang batas omzet pengusaha kena pajak (PKP). Hal ini untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, sepertinya kebijakan tersebut masih perlu ditunda alias tidak tepat diterapkan tahun ini. Alasannya, karena kondisi perekonomian saat ini masih diliputi ketidakpastian akibat masalah geopolitik dan transisi pemerintahan baru.
“Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga cenderung melemah, sehingga dikhawatirkan berdampak pada pengusaha kecil,” Tutur Prianto kepada Kontan, Senin (24/6).
Adapun Prianto menyampaikan, dalam memutuskan ambang batas pengusaha kena pajak tersebut, pemerintah memiliki dua opsi yang tentunya ada sisi negatif dan positifnya. Jika setuju untuk menurunkan ambang batas PKP, maka biaya administrasi kantor pajak akan bertambah.
Pasalnya, jumlah PKP akan bertambah sehingga tambahan PKP baru tersebut harus melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai (SPT PPN) setiap bulannya. Ditambah pula beban kepatuhan pengusaha kecil yang baru dikukuhkan sebagai PKP juga akan meningkat.
Baca Juga: Penerimaan PPh Diproyeksi Turun Dampak Kenaikan Tarif PPN 12%
Akan tetapi, dampak positifnya jika kebijakan tersebut diterapkan adalah, penerimaan PPN akan berpotensi meningkat karena ada penambahan PKP yang sebelumnya memilih tetap menjadi pengusaha kecil sehingga tidak harus lapor SPT.
“Penambahan PKP baru tersebut akan meningkatkan pelaporan SPT PPN, dan penerimaan PPN juga dapat meningkat,” ungkapnya.
Opsi kedua adalah, jika ambang batas PKP tidak diturunkan, maka biaya administrasi bagi kantor pajak tidak meningkat karena tidak ada penambahan PKP baru dari pengusaha kecil.
Disamping itu, biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil juga tidak meningkat karena mereka tidak harus dikukuhkan sebagai PKP dan tidak harus lapor SPT PPN.
Sementara itu dampak negatifnya adalah potensi penambahan penerimaan PPN dari pengusaha kecil yang menjadi PKP tidak muncul. Dengan demikian, pemerintah harus mencari cara lain untuk meningkatkan penerimaan PPN.
Untuk diketahui, Bank Dunia menilai ambang batas PKP Indonesia harus diturunkan karena ambang batas PPN yang tinggi secara signifikan tersebut dinilai mempersempit basis pajak PPN.
Selain itu, terdapat lebih banyak sektor di Indonesia yang dibebaskan dari pajak dibandingkan negara-negara sejenis, seperti pertambangan dan produk pengeboran. Artinya, permasalahan tersebut justru membuat penerimaan pajak menjadi berkurang.
Bank Dunia mencatat ambang batas wajib pajak yang wajib mendaftar PPN di Indonesia saat ini sebesar US$ 320.000 atau sekitar Rp 5,2 miliar (kurs Rp 16.404 per dollar AS).
Ambang batas tersebut enam kali lebih tinggi dari ambang batas rata-rata di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dikisaran US$ 57.000 atau Rp 935,1 juta pada tahun 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News