Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Semangat nasionalisme yang kuat diyakini menjadi modal bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income country trap. Hal itu sudah dibuktikan dengan capaian yang sudah diperoleh negara-negara maju seperti Jepang, China, dan Korea Selatan (Korsel).
Pengamat pendidikan yang juga akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia HAR Tilaar mengatakan, nasionalisme yang kuat telah membuat Jepang menjadi negara maju selama 50 tahun. Sedangkan China hanya memerlukan waktu 30 tahun dan Korea Selatan menjadi negara maju sekitar 40 tahun.
"Modal yang dipakai oleh ketiga negara tersebut adalah rasa nasionalisme yang tebal yang dikembangkan dalam kebudayaannya," kata Tilaar dalam Seminar Internasional bertajuk "Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia", di Kampus Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (4/11) malam.
Dalam seminar yang juga diikuti oleh sejumlah ahli bahasa dan budaya beberapa negara tersebut, Tilaar mengatakan, dengan nasionalisme yang kuat, negara-negara tersebut yakin tidak kurang kemampuan dibandingkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Tiga negara tersebut mampu mengembangkan rasa nasionalisme dengan mencintai kebudayaan sendiri.
Salah satu sarana untuk mengembangkan identitas bangsa Indonesia adalah dengan mencintai Bahasa Indonesia. Sebab bahasa menunjukkan indentitas dari suatu bangsa. "Upaya ini perlu dimulai dari bawah, dari pendidikan dasar seperti taman kanak-kanak," katanya.
Bahasa sebagai alat pemersatu bangsa juga harus ditunjukkan dari kebiasaan-kebiasaan pemimpin bangsa, dari tingkat presiden sampai bawahan-bawahannya, termasuk juga media massa, televisi, dan lain sebagainya.
"Jangan mengunakan bahasa Indonesia gado-gado. Kalau ada istilah dalam Bahasa Indonesia, mengapa harus menggunakan bahasa asing," tambahnya.
Bahkan menurutnya, Pemerintahan Jokowi perlu meninjau kembali sekolah-sekolah asing dengan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia. Apalagi sekolah-sekolah asing itu biasanya dimasuki oleh putra-putri Indonesia dari kalangan berada.
Seperti diketahui, perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam dua tahun ini membuat Indonesia semakin susah keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam pengumumannya yang terakhir menghitung pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2014 hanya sebesar 5,01%. Laju pertumbuhan 5,01% adalah yang terendah sejak 2009. Pada pada periode yang sama 2009 ekonomi Indonesia tumbuh 4,2%.
Susahnya Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah pernah diutarakan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Dari sisi ekonomi, Bambang melihat, perlambatan yang terjadi karena anjloknya kinerja dan harga komoditas ekspor dan investasi.
Middle income trap adalah suatu kondisi perekonomian tatkala suatu negara yang sudah berhasil masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atau middle income countries, mengalami stagnasi dalam jangka waktu cukup lama dan tidak berhasil naik ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi. Merujuk pada standar internasional, durasi waktu suatu negara dinilai terjebak dalam middle income trap adalah sekitar 42 tahun.
Pembagian negara berpendapatan menengah terdiri dari lower middle income countries dan upper middle income countries. Lower middle income memiliki rentang pendapatannya US$ 2.000 sampai US$ 7.250 per kapita, sedangkan untuk upper middle income, rentang pendapatannya US$ 7.250- US$ 11.750 per kapita.
Indonesia sendiri memiliki pendapatan per kapita sekitar US$ 3.475 per kapita sampan akhir 2013, sehingga mask dalam lower middle income countries.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News