Reporter: Dikky Setiawan, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Indonesia harus mengubah kebijakan ekonominya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Langkah ini perlu agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap atawa jebakan kelas menengah.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro bilang, saat ini Indonesa masih dihantui middle income trap. Melesunya pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator. Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan Indonesia bergerak di bawah 6%. Celakanya, pelambatan ekonomi itu diperkirakan bakal menular hingga dua tahun ke depan.
Dengan ekonomi melambat, mimpi Indonesia naik kelas jadi high income group atawa negara maju berpendapatan tinggi bisa terkubur. “Saat ini Indonesia agak berat keluar dari middle income trap. Sebab, pelambatan ekonomi kita terpengaruh ekonomi global,” ujar Bambang, Selasa (14/10).
Kini, harga komoditas dunia, terutama batubara dan minyak sawit mentah (CPO) turun di pasaran dunia. Dua komoditas itu merupakan andalan ekspor Indonesia.
Investasi dan ekspor
Untuk keluar dari middle income trap, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi setidaknya 8,7% per tahun. “Padahal, di dalam sejarah, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai hampir 9% per tahun. Jadi, perlu kerja keras untuk mencapai target tersebut,” imbuh Bambang.
Salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah ke depan adalah membangun pondasi ekonomi melalui kebijakan yang berlawanan dengan kebijakan ekonomi China.
Saat ini pemerintah China berusaha membangun ekonominya melalui consumption base economy atau ekonomi berbasis konsumsi. Lebih dari 10 tahun, ekonomi China tumbuh dua digit lewat kebijakan investasi dan ekonomi berbasis ekspor (investment and export base economy).
Masalahnya, kebijakan tersebut mengalami titik jenuh, ditandai dengan melambatnya laju investasi. Kelompok buruh di China sudah vokal terhadap manajemen sehingga investasi di China turun dan ekspornya terganggu.Alhasil, pertumbuhan ekonomi China mulai melambat ke level 7%.
Di Indonesia, kebijakan ekonomi berbasis investasi dan ekspor pernah dilakukan pada tahun 1990an, sebelum Asian Financial Crisis (AFC) atawa krisis keuangan di Asia terjadi. Kala itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong oleh investasi dan ekspor.
Pertumbuhan investasi didorong sektor pertambangan, perkebunan, dan manufaktur. Sementara itu, kinerja ekspor didominasi oleh sektor manufaktur seperti tekstil, garmen, dan elektronik. Sayangnya, pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi. Dampaknya, pertumbuhan investasi dan ekspor melambat hingga 2009.
Saat ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, investasi dan ekspor disumbang oleh sektor konsumsi. Sejak itu hingga kini, ekonomi RI didorong oleh konsumsi.
Itu sebabnya, pertumbuhan indonesia sampai saat ini stabil di kisaran 5%-6%. Hal ini merupakan ciri khas pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi. Agar tumbuh di atas 6%-7%, sangat sulit karena tak didukung investasi dan ekspor. "Percepatan investasi dan ekspor harus digenjot,” tegas Bambang.
Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) bilang, negara kita punya potensi naik kelas jadi negara berpenghasilan tinggi. Apalagi, Indonesia didukung sumber daya alam dan bonus demografi. “Ini saatnya Indonesia berkembang jadi negara berpendapatan tinggi atau tetap stagnan dalam perangkap pendapatan menengah," kata Mirza, akhir pekan lalu.
Namun, kata Mirza, Indonesia harus mengatasi beberapa masalah utama yang menghambat negeri ini keluar dari middle income trap. Contoh, masih tingginya angkatan tenaga kerja Indonesia yang tidak terampil. Hal ini lantaran penyebaran pendidikan tidak merata dan minimnya pendidikan pekerja profesional.
Selain itu, harus ada alokasi investasi untuk mengatasi defisit teknologi dan pembangunan infrastruktur. Kedua faktor ini adalah komponen utama untuk menciptakan booming di sektor industri.
Sependapat, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, mengatakan, pembangunan infrastruktur di Indonesia bisa mengangkat ekonomi Indonesia.
Untuk menjadi negara maju, penciptaan teknologi dengan sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan. "Perizinan usaha dan investasi juga harus dipercepat. Kalau tidak, investor bisa memilih berinvestasi di Singapura yang memiliki perizinan lebih cepat dibandingkan Indonesia,” kata Lana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News