Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Saat ini, pemeringkat internasional yang telah memberikan peringkat investment grade kepada Indonesia baru Moody's Investors Service (Moody's), dan Fitch Ratings. Hanya Standard and Poor's (S&P) yang belum memberikan peringkat investment grade.
Banyak yang berharap, S&P segera menaikkan peringkat surat utang Indonesia. Alasannya, pertumbuhan ekonomi stabil di atas 5%, fundamental ekonomi juga terjaga baik dan sudah ada reformasi kebijakan yang mendukung inevstasi.
Namun demikian, berdasarkan informasi S&P Conference Summary yang didapat KONTAN, S&P memandang Indonesia masih berat untuk menaikkan rating. Pasalnya, ada beberapa kendala.
Kendala tersebut di antaranya, keseimbangan fiskal Indonesia telah konsisten, tapi diperlukan kajian lebih lanjut. Adapun pertumbuhan PDB melambat, tapi masih bisa dimengerti.
S&P juga memiliki keprihatinan tentang tingkat pendapatan yang rendah. Sementara Indonesia juga kurang diuntungkan dari reflasi Amerika Serikat.
Ada juga beberapa kekhawatiran pada sektor perbankan, yaitu masih adanya kesulitan di 2017, memburuknya kualitas kredit yang disebabkan utang yang lebih tinggi dan harga komoditas rendah. Di samping itu, utang proporsional dalam dolar AS di perusahaan Indonesia terbilang tinggi.
Selain itu, disorot juga soal penurunan jangka panjang untuk profitabilitas. Pasalnya, biaya pinjaman di Indonesia tertinggi bila dibandingkan dengan negara sejenis, yakni 3%. Sementara profitabilitas bank di Indonesia mengalami tren menurun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebelumnya menyatakan bahwa tak ada alasan lagi bagi S&P untuk tidak memperbaiki peringkat kredit Indonesia di tahun ini.
Sementara itu, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Rangga Cipta mengatakan bahwa rating S&P seharusnya naik, tetapi apakah akan dinaikkan belum 100% kemungkinannya. “Tetapi sudah lebih besar melihat perbaikan fundamental perekonomian Indonesia setahun terakhir ya,” ucapnya kepada KONTAN, Kamis (30/3).
Ia mengatakan, terlepas dari keabsahan informasi dalam S&P Conference Summary tersebut dan terlepas dari faktor serta metode yang digunakan S&P untuk mentukan rating, secara siklus, fiskal memang masih tertekan karena memang searah dengan pertumbuhan yang belum kencang sehingga pendapatan pajak minimal.
Namun menurutnya ada beberapa hal yang harus ditengok. Pertama, secara struktur, fiskal sudah lebih baik terlihat dari proporsi belanja infrastruktur yang lebih besar relatif terhadap belanja subsidi yang non-produktif. Pengaruh harga komoditas yang terlanjur tinggi ke APBN juga membuat defisit melebar sejak 2011.
“Tetapi semenjak awal 2017, perbaikan harga komoditas seharusnya telah memberikan efek positif ke pertumbuhan penerimaan negara,” katanya.
Kedua, menurut dia pertumbuhan juga baru mulai pulih karena harga komoditas juga baru mulai pulih. Pencapaian pertumbuhan di 2016 sudah lebih baik dibandingkan 2015 dan di saat yang sama, CAD juga menipis akibat surplus dagang yang melebar. Perlambatan di akhir 2016 lebih akibat dari pemangkasan belanja demi defisit fiskal yang lebih rendah, ekspor dan investasi semakin cepat pertumbuhannya.
Ketiga, pendapatan per kapita memang masih rendah relatif terhadap negara lain di kawasan tetapi masih tumbuh positif. Dari struktur penduduk, komposisi kelas menengah yang lebih banyak seharusnya menunjukkan kemampuan daya beli yang semakin kuat dan merata.
Keempat, NPL perbankan memang masih tinggi dan menurut Rangga, itu yang menyebabkan pertumbuhan kredit dan profitabilitas juga masih lambat.
“Tetapi perbaikan mulai muncul dengan pertumbuhan kredit yang membaik di awal 2017 lagi-lagi akibat perbaikan harga komoditas yang mendongkrak ekspor,” ujarnya.
Kelima, soal komposisi utang swasta yang naik searah dengan tren kenaikan utang global semenjak QE di 2009. Secara umum menurut dia, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih jauh lebih rendah dibanding negara lain. Secara struktur, kualitas utang luar negeri juga meningkat karena diiringi oleh ketersediaan instrumen lindung nilai serta kontrol otoritas moneter yang lebih ketat terhadap pengajuan utang luar negeri baru.
Keenam, menurut Rangga, NIM perbankan Indonesia memang masih tinggi relatif terhadap negara lain di kawasan. Diperlukan perubahan struktur perbankan serta pendalaman sektor keuangan yang hanya bisa terwujud dalam jangka panjang.
“Tetapi penguatan struktural perbankan terus terjadi semenjak krisis 1997-1998 terbukti dari dampak negatif krisis global 2007-2008 yang minimal,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News