kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Moratorium TKI picu naiknya kemiskinan


Jumat, 05 Agustus 2011 / 10:13 WIB
Moratorium TKI picu naiknya kemiskinan
ILUSTRASI. BEI akan menghapus pencatatan saham Evergreen (GREN) pada 23 November 2020.


Reporter: Irma Yani | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Penghentian sementara (moratorium) tenaga kerja Indonesia (TKI) diyakini akan memperbesar angka kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, moratorium TKI tersebut berpotensi mendongkrak angka pengangguran."Oleh karena itu pemerintah berusaha keras melaksanakan program pemberdayaan ekonomi rakyat di daerah-daerah yang menjadi kantong TKI," kata Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hidayat, Kamis (4/8).

Menurutnya, untuk mengatasi penambahan jumlah penduduk miskin akibat moratorium itu, pemerintah akan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi rakyat, seperti program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM), kredit usaha rakyat (KUR), atau tanggung jawab perusahaaan (CSR).
Belakangan, pemerintah memang banyak menerapkan moratorium TKI ke sejumlah negara tujuan penempatan TKI. Pada 1 Agustus lalu misalnya, pemerintah menerapkan moratorium TKI ke Arab Saudi, setelah sebelumnya menerapkan moratorium ke Kuwait dan Jordania. Sedangkan moratorium TKI ke Malaysia telah berlangsung sejak Juni 2009. "Tapi Malaysia sebentar lagi dicabut," ujarnya.

Menurut Jumhur, moratorium berpotensi meningkatkan kemiskinan. Katakanlah setiap TKI menanggung biaya hidup empat orang keluarganya. Maka, setiap satu orang TKI tidak bekerja akan ada lima orang yang berpotensi masuk jurang kemiskinan.
Untuk mengatasi itu, BNP2TKI terus berupaya mencari peluang pasar TKI di luar negeri. Menurut Jumhur, peluang kerja di luar negeri sebenarnya masih terbuka lebar. Contohnya negara-negara Uni Eropa yang membutuhkan satu juta tenaga kerja asing per tahun. Sementara Amerika Serikat membutuhkan 800.000- 1 juta orang.

Persoalannya, Indonesia belum bisa memasok tenaga kerja profesional dan terampil seperti dibutuhkan negara-negara tersebut. "Untuk itu perlu dibuat desain besar dalam menyiapkan tenaga kerja profesional, terampil, atau semiterampil untuk mengisi peluang kerja yang tersedia," tandasnya.




Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×