kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

MK tolak permohonan uji formil UU kebijakan keuangan negara dalam penanganan Covid-19


Kamis, 28 Oktober 2021 / 16:31 WIB
MK tolak permohonan uji formil UU kebijakan keuangan negara dalam penanganan Covid-19
ILUSTRASI. MK tolak permohonan uji formil UU kebijakan keuangan negara dalam penanganan Covid-19


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji formil dan uji materiil Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU kebijakan keuangan penanganan Covid-19).

Perkara teregister nomor 37/PUU-XVIII/2020. Pemohon adalah Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dalam hal ini diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif; Desiana Samosir; Muhammad Maulana; Syamsuddin Alimsyah.

Dalam amar putusannya, MK menolak gugatan uji formil UU 2/2020 (UU kebijakan keuangan negara dalam penanganan Covid-19). “Dalam pengujian formil, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dipantau dari Youtube Mahkamah Konstitusi, Kamis (28/10).

Baca Juga: Sidang perdana uji materi, Perppu 1/2020 dinilai menihilkan fungsi anggaran DPR

Terhadap permohonan pengujian formil yang pada pokoknya para Pemohon mendalilkan bahwa dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan UU 2/2020 yang substansinya berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah daerah telah mereduksi nilai-nilai rule of law dengan demikian kekuasaan DPD dikurangi untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan terhadap isu daerah tidak diaplikasikan secara maksimal dan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat dan telah mereduksi esensi pelaksanaan mandat rakyat yang dititipkan kepada para wakilnya di DPR dan juga mereduksi nilai-nilai demokrasi.

Merujuk pertimbangan Mahkamah terhadap ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 2/2020 merupakan undang-undang yang berasal dari Perpu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, dari aspek pengusulan sebuah RUU, DPD hanya diberikan kewenangan legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, yakni berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Baca Juga: Ada UU HPP, pemerintah yakin defisit anggaran 2022 akan lebih rendah dari perkiraan

Sementara itu, dari aspek pembahasan, DPD berwenang mengikuti pembahasan terhadap RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang pajak, pendidikan, dan agama.

Sekalipun sebagian substansi UU 2/2020 mengandung materi yang berkaitan langsung dengan kebijakan anggaran/keuangan negara, namun dikarenakan UU a quo berasal dari Perpu Nomor 1/2020 sehingga secara konstitusional proses penetapan Perpu menjadi undang-undang tunduk kepada norma Pasal 22 UUD 1945.

Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."

Latar belakang Presiden mengeluarkan Perpu ini didasarkan pada fakta adanya pandemi Covid-19. Hal demikian tertuang dalam konsideran “Menimbang” yang diuraikan dengan lebih rinci dalam bagian Penjelasan Perpu 1/2020.

Setelah mencermati bagian Penjelasan Perpu 1/2020, Mahkamah perlu mengaitkan dengan syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUUVII/2009, bertanggal 8 Februari 2010.

Yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada.

Serta kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Sehingga, menurut Mahkamah Perpu a quo telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Baca Juga: Amien Rais siap mengajukan gugatan baru jika uji materi Perppu 1/2020 ditolak MK

“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar Mahkamah dalam pertimbangannya.

Selain itu, menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi.

Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat.

“Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto),” tutur Mahkamah dalam pertimbangannya. Lebih lanjut, dalam amar putusan uji materiil, Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

Selanjutnya: Rencana Cukai Plastik Masih Menunggu PP Terbit

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×