kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Meski risiko krisis paling rendah, Indonesia harus tetap waspada


Rabu, 12 September 2018 / 12:02 WIB
Meski risiko krisis paling rendah, Indonesia harus tetap waspada
ILUSTRASI. Uang dollar AS


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia termasuk negara dengan risiko paling rendah terpapar krisis berdasarkan analisis yang dilakukan Nomura Holdings Inc. Tingkat kerentanan Indonesia memang cukup baik, tetapi dinilai harus tetap waspada.

Dalam analisis Nomura, Indonesia memperoleh skor nol terkait risiko krisis moneter selain Brazil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand. Hal itu dinilai dari cukup tingginya cadangan devisa (cadev) Indonesia yang sebesar US$ 117,9 miliar dan rendahnya rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), bisa menahan pelemahan nilai tukar lebih lanjut.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah melakukan serangkaian upaya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).

Meski demikian, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, tingkat kerentanan Indonesia tidak terlalu baik. Hal itu diukur dari sejumlah indikator lain. Misalnya, CAD dan net foreign asset terhadap PDB Indonesia.

"Dari dua indikator itu, Malaysia, Thailand, dan Korea masih lebih baik dari Indonesia," terangnya.

Walaupun posisi Indonesia masih lebih baik dibanding Argentina, Turki, dan Iran. Posisi Indonesia lanjut David, mirip dengan India dan Filipina. "Jadi Indonesia tertekan lebih karena eksternal saja," tambahnya.

Lebih lanjut menurut David, Indonesia tetap harus waspada. Sebab, kondisi krisis yang terjadi pada tahun 2008 silam bisa saja terjadi lagi. Saat itu, likuiditas valas ketat dan pasokan valas juga seret.

Sementara saat ini, kondisi likuiditas valas masih aman. "Tetapi pasokan bisa saja tiba-tiba kering karena masih banyak eksportir yang tidak mau mengonversi dollarnya ke rupiah," kata David. 

Bank Indonesia (BI) mencatat, sekitar 80%-81% devisa hasil ekspor (DHE) telah masuk ke perbankan dalam negeri. Namun, yang dikonversi ke rupiah baru 15%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×