kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Membandingkan krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 dengan kondisi saat ini


Selasa, 11 September 2018 / 10:49 WIB
Membandingkan krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 dengan kondisi saat ini
ILUSTRASI. Defisit Neraca Transaksi Berjalan


Reporter: Kiki Safitri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sejauh ini sudah melakukan berbagai upaya guna mengatasi masalah pelemahan rupiah. Namun, masyarakat menilai bahwa hal tersebut tidak berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar Amrika Serikat (AS).

Adapun kendala yang sejauh ini adalah masalah dampak krisis moneter yang terjadi di beberapa Negara-negara berkembang. Sehingga memicu adanya spekulasi bahwa Indonesia sebagai Negara berkembang juga akan mengalami krisis.

Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir membandingkan dengan masalah krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 hingga saat ini.

Ia mengatakan bahwa sejauh ini Indonesia bukan pertama kalinya mengalami pelemahan rupiah. Pada tahun 2013 ini sempat tejadi, namun tidak berpotensi krisis.

“Kita lihat krisis dari 1997- 1998 sampai periode saat ini. Kalau kita lihat CAD (Current Account Devfisit) ini berdasarkan historis bukan pertama kali kita menghadapi, di tahun 2013 kita pernah menghadapi CAD -4,24% lebih parah lagi. Pada 2013, -3,19%. Dan ini bukan hal yang perlu ditakuti, ini bukan kiamat dan bukan suatu krisis. Kalau kita lihat 2013 apa yg terjadi? Tidak apa-apa tuh. Pertumbuhan ekonomi kita di 2013, 5,56 %,” kata Iskandar, Senin (10/9).

Iskandar menambahkan bahwa Indonesia selalu dihadapkan pada masalah defisit CAD, namun hal ini tidak perlu menjadi kekhawatiran berlebih karena sejauh ini pergerarak modal masuk (capital inflow) masih dalam batasan yang aman. Namun yang perlu dikhawatirkan adalah capital outflow investor asing.

“Kalau ada yang bilang kita sudah memasuki krisis, menurut saya itu historisnya bahwa kita memang selalu dihadapi dengan CAD. Ketika pertumbuhan ekonomi kita tinggi selalu akan tejadi perkara di CAD kita, tetapi selagi ada capital inflow tidak masalah. Namun sekarang terbatas karena situasi global penuh ketidapastian mengakibatkan capital outflow terjadi,” ujarnya.

Iskandar mengatakan bahwa Indonesia menghadapi defisit CAD tersebesar sekitar tahun 2013 itu dengan nilai US$ 29 miliar, namun hal itu tidak menjadi masalah karena kita transaksi modal dan penghasilan capital inflow yang masuk cukup besar.

Begitu juga di tahun 2014 dimana CAD minus, namun capital inflow yang masuk tercermin dari transaksi modal dan penghasilan cukup besar yakni US$ 44,9 miliar.

Ia juga menyebut bahwasannya ini tidak hanya terjadi pada Indonesia saja, Negara berkembang yang mengalami masalah defisit CAD lainnya adalah Argentina dan Turki. Ia menjelaskan bahwa defisit CAD yang terjadi di dua Negara tersebut menggerus hamper sepatuh nilai mata uang negaranya.

“Apakah ini terjadi pada kita aja? Kalau kita lihat kejadian fenomena ini tidak hanya terjadi di kita saja, lihat di Argentina, year to datenya itu terdepresaiai -49.62% dan kita juga dipengaruhi ekonomi global, kalau di Turki - 40,7% hampir separuh tergerus mata uangnya. Kalau ada yang bilang kita krisis dengan year to date -8,5% menurut saya itu terlalu berlebiham. Kalau waspada iya, tapi ketakutan berlebih itu tidak bagus,” terangnya.

Ia lalu mencontohkan, jika masalah ini diadaptasi dengan kondisi perbankan yang sehat, namun para nasabahnya tidak percaya maka bank tersebut juga akan mengalami kebangkrutan.

Hal ini ia sangkutkan kepada Indonesia, jika konsidi sejauh ini dinilai masih stabil namun masyaraktnya berpersepsi negative, maka bisa saja krisis terjadi.

“Kalau kita berpikir negative bisa terjadi negative. Misalnya krisis perbankan, kalau masyarakatnya berbondong-bondong tidak percaya dengan banknya, maka bank yang tadinya sehat bisa bankrupt. Krisis itu terjadi salah satu faktornya adalah asumsi yang ada di pikiran kita,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×