Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Demi bergabung menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, Indonesia dinilai tak perlu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Memang, beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa Israel menolak peluang Indonesia untuk masuk menjadi anggota OECD. Namun, kini Israel membuka peluang bagi Indonesia untuk menormalisasi hubungan antar kedua negara.
Sebelumnya, Indonesia juga menegaskan bahwa tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel hingga negara ini mengakui kemerdekaan Palestina. Lantas apakah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel adalah salah satu syarat untuk menjadi anggota OECD?
Baca Juga: Disebut Ingin Jadi Anggota OECD, Indonesia Bantah Normalisasi Hubungan dengan Israel
Peneliti Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS), Muhammad Habib mengatakan prasyarat keanggotaan OECD tidak sesederhana hanya membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Menurutnya, jauh lebih mahal adalah seberapa besar komitmen pemerintah dalam melakukan reformasi di berbagai sektor, terutama isu-isu larangan ekspor mentah mineral kritis, tingkat komponen dalam negeri, pembatasan impor, dan seterusnya.
“Saya rasa dalam konvensi OECD tidak ada yang menyatakan secara spesifik bahwa harus memiliki hubungan diplomatik formal dengan negara-negara anggota OECD, apalagi dengan Israel,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (16/4).
Habib menjelaskan, beberapa persyaratan untuk menjadi anggota OECD antara lain memenuhi standar dan kriteria kebijakan negara-negara yang tergabung di dalamnya.
Baca Juga: Bertemu Sekjen OECD, Sri Mulyani Lanjutkan Pembahasan Proses Aksesi Indonesia
Dia bilang, posisi Indonesia konsisten sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang menyebut sepanjang penjajahan terhadap Palestina terjadi sepanjang itu pula hubungan diplomatik Indonesia – Israel masih ditangguhkan.
“Setelah menjadi negara demokratik, hubungan diplomatik dengan Israel juga menjadi domain publik domestik, artinya sepanjang publik belum memberikan (suara) mayoritas juga masih sulit untuk terwujud,” jelasnya.
Senada, Direktur Climate Policy dan Global Politics, Eko Sulistyo menyatakan tidak ada syarat khusus untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Dia menyebutkan, terdapat lima bidang prioritas untuk evaluasi OECD dalam menerima anggota baru.
“Di antaranya, reformasi struktural, rezim perdagangan dan investasi terbuka, kebijakan sosial dan kesempatan yang setara, tata kelola publik dan upaya antikorupsi, dan perlindungan lingkungan,” terangnya kepada KONTAN.
Eko menuturkan, sejarah OECD itu memang sangat kental dari warna aliansi politik global, terutama keberlanjutan NATO dan peran Amerika dalam membantu negara-negara Eropa pulih dari perang dunia II.
Baca Juga: Hanya 7 Bulan, Indonesia Jadi Salah Satu Negara Tercepat Masuk Proses Aksesi OECD
“Contohnya, OECD pernah menutup kantor-kantornya di Rusia, pasca Rusia menginvasi Ukraina. Nah itu kelihatan warna-warna aliansi politiknya,” tutur dia.
Lebih lanjut, Eko menambahkan, dorongan kuat Indonesia untuk menjadi anggota OECD datang dari Australia, di mana saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal OECD yakni Mathias Cormann.
“Indonesia didorong kuat terutama oleh Australia karena Sekjen OECD ini dari Australia mantan Menteri Keuangan Australia, bahkan disurati supaya mendapatkan persetujuan dari 38 negara anggota,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News