Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebanyak Rp 1.861,8 triliun di akhir tahun 2020. Angka ini lebih tinggi daripada outlook penerimaan pajak 2019 sebesar Rp 1.643,1triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetken tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,3%. Laju pertumbuhan ekonomi tentunya memengaruhi penerimaan pajak di tahun depan. Target pertumbuhan ekonomi yang terbilang stagnan itu pula menjadi tantangan penerimaan perpajakan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan tantangan terbesar dalam penerimaan negara 2020 adalah PPN dan PPh non Migas.
Dalam skema Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, PPh ditargetkan naik 13,3% sedangkan PPN tumbuh 15,7%.
Baca Juga: Pemindahan ibu kota jadi kabar positif bagi emiten yang bergerak di sektor properti
“Menurut saya memang dua sektor ini yang bisa menjanjikan asal ada terobosan,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Minggu (18/8).
Lebih lanjut Yustinus mengatakan dalam menjaring PPh pemerintah perlu fokus menggenjot potensi yang ada dengan kerjasama kelembagaan dan pemotongan atau pemungutan pajak yang lebih efektif.
Menkeu mengatakan ada tujuh poin kebijakan perpajakan pada tahun 2020. Pertama, meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kedua, perbaikan kualitas pelayanan, penyuluhan, dan pengawasan melalui penguatan sistem IT dan administrasi perpajakan.
Ketiga, menyetarakan level playing field. Keempat, perbaikan proses bisnis khususnya dalam hal restitusi Pajak Penambahan Nilai (PPN). Kelima, implementasi Keterbukaan Informasi Perpajakan (AEoI). Keenam, ekstensifikasi barang kena cukai. Ketujuh, penyesuaian tarif cukai hasil tembakau.
Baca Juga: Kartu sembako mulai berlaku tahun 2020, bantuan naik jadi Rp 150.000 per bulan
Nah, Yustinus mengatakan pajak ekonomi digital menjadi salah satu ladang meningkatkan PPh. Apalagi Kemenkeu lewat Direktorat Jendral Pajak sudah membentuk direktorat khusus yang bertujuan merambah pelaku ekonomi digital, yakni Direktorat Teknologi Infromasi dan Teknologi (DTIK) dan Direktorat Data Informasi Perpajakan (DDIP).
Selanjutnya dari sisi PPN, Yustinus memandang harus mulai dipikirkan skema tarif efektif PPN untuk pengecer sehingga lebih efektif dan efisien. “Tentunya didukung cash register untuk kemudahan dan kontrol,” kata Yustinus.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan pada dasarnya PPN mengikuti harga jual barang. Sementara pasar saat ini cenderung dinamis melihat sentimen global dan domestik.
Hariyadi memahami untuk meningkatkan PPN bukan perkara yang mudah. Paling memungkinkan guna menggenjot PPN yakni dengan cara menambahkan volume penjualan yang dengan otomatis bakal meningkatkan PPN.
Untuk itu, sektor yang paling bisa berkontribusi banyak kata Hariyadi adalah makanan-minuman (mamin). Dia mengimbau untuk dapat menggenjot mamin butuh sinergi dari pemerintah agar konsumsi di sana tetap terjaga di tahun 2020.
“Yang menghawatirkan adalah sektor properti justru karena insentif pemerintah aneh-aneh sehingga pajak properti akan turun,” kata Hariyadi kepada Kontan.co.id, Minggu (18/8).
Baca Juga: Pemerintah menganggarkan dana Rp 7,5 triliun untuk KIP Kuliah di RAPBN 2020
Di sisi lain, Pengamat Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menilai bila melihat target penerimaan tahun depan yang tumbuh lebih dari 13% agaknya masih cukup tinggi mengingat tahun ini risiko shortfall bisa lebih besar dari outlook pemerintah.
Bawono menambahkan apalagi tax buoyancy yang kembali melemah seperti hanya mampu mendongkrak pertumbuhan penerimaan secara nominal di 2020 di kisaran 6,5% hingga 9,5%.
“Walau demikian, target penerimaan itu masih bisa tercapai selama sejak awal tahun pemerintah bisa konsisten menerapkan rencana kebijakan pajak yang tercantum dalam RAPBN,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Minggu (18/8).
Baca Juga: Kemenhub fokus kembangkan infrastruktur dan SDM transportasi
Selain itu, Bawono mengatakan diperlukan ekstensifikasi pajak, memperketat ketentuan anti penghindaran pajak, komitmen reformasi pajak, meninjau ulang pajak final, evaluasi tax expenditure, dan lain sebagainya.
“Penting juga untuk menggarisbawahi perlunya memberikan insentif yg bukan melulu mengacu pada keringanan pajak dan tarif namun juga fokus pada upaya memberikan kepastian bagi wajib pajak,” kata Bawono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News