Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menilai pertumbuhan kredit di kisaran 8% – 12% pada tahun 2026 menjadi level paling ideal untuk menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan di luar kisaran tersebut, justru bakal berisiko menekan ketahanan perbankan atau justru menahan laju pemulihan ekonomi.
Asisten Gubernur BI Solikin M. Juhro mengatakan, target tersebut mencerminkan keseimbangan antara fungsi intermediasi perbankan dan risiko stabilitas, terutama dalam menjaga kualitas kredit dan permodalan.
Ia menjelaskan, stabilitas sistem keuangan (SSK) pada dasarnya tak lepas dari keseimbangan antara pertumbuhan kredit, ketahanan sektor keuangan, dan inklusivitas pembiayaan.
Baca Juga: Contraflow Jalan Tol Mudik Nataru 2025/2026 Dimulai Hari Ini (23/12), Cek Jadwalnya
Pertumbuhan kredit yang terlalu tinggi berisiko menimbulkan ketidakstabilan, sementara pertumbuhan yang terlalu lemah bakal menahan laju ekonomi.
“Target 8% – 12% ini merupakan level optimal yang kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa menimbulkan konsekuensi terhadap stabilitas (mata uang),” ujar Solikin dalam taklimat media di Jakarta, Selasa (22/12/2025).
Solikin mengambil contoh pengalaman awal 1990-an, ketika pertumbuhan kredit yang sangat tinggi berujung pada melemahnya ketahanan sistem keuangan.
Karena itu, kata Solikin, BI menekankan pertumbuhan kredit yang disertai dengan terjaganya kualitas aset, permodalan yang kuat, serta kemampuan bayar debitur yang sehat.
Perlambatan Kredit Akibat Lemahnya Demand
BI mencatat per November 2025 kredit perbankan tumbuh 7,74% secara tahunan. Mengingatkan kembali, level pertumbuhan ini belum mencapai target pertumbuhan 8% – 12% untuk tahun penuh 2025.
Solikin bilang perlambatan pertumbuhan kredit sepanjang 2025 lebih disebabkan oleh lemahnya permintaan (demand) dari dunia usaha dan rumah tangga, bukan karena keterbatasan likuiditas perbankan.
Meski demikian, ia tetap optimistis pertumbuhan kredit pada akhir tahun dapat berada di atas 8%, sesuai dengan mandat kebijakan BI.
“Isunya bukan di supply. Likuiditas tersedia, insentif juga sudah banyak diberikan. Tapi demand-nya belum cukup kuat,” sebut Solikin.
Baca Juga: Kementerian Keuangan Akan Perbanyak Terbitkan Surat Utang Tenor Pendek di 2026
Dari sisi korporasi, banyak perusahaan memilih bersikap wait and see terhadap kondisi ekonomi global dan domestik. Hal ini tercermin dari masih tingginya kredit menganggur (undisbursed loan) yang per November 2025 mencapai mencapai Rp 2.509 triliun atau 23,18% dari plafon kredit tersedia.
Sementara dari sisi rumah tangga, keputusan untuk mengambil kredit juga tertahan oleh ekspektasi pendapatan yang belum menguat. Ketidakpastian ekonomi membuat konsumsi berbasis kredit cenderung tertahan.
Namun demikian, BI akan terus memantau perkembangan permintaan kredit agar fungsi intermediasi perbankan tetap berjalan optimal.
Selanjutnya: Robert Kiyosaki Wanti-Wanti Ekonomi AS Menuju Siklus Berbahaya
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Kebutuhan Dapur 16-31 Desember 2025, Beli 1 Gratis 1 Kaldu Sedaap
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













