kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menempuh upaya banding, bos Hotel Kuta Paradiso berharap hakim adil


Kamis, 30 Januari 2020 / 12:55 WIB
Menempuh upaya banding, bos Hotel Kuta Paradiso berharap hakim adil
ILUSTRASI. Terdakwa Harijanto Karjadi, saat sidang kasus Hotel Kuta Paradiso? di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Selasa (3/12/2019).


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Owner dan Direktur Utama PT Geria Wijaya Prestige/GWP (Hotel Kuta Paradiso) Harijanto Karjadi berharap, majelis hakim pengadilan tinggi memutus upaya banding yang diajukannya secara lebih adil dengan mempertimbangkan sejumlah kejanggalan dan keanehan yang ada.

Petrus Bala Pattyona, koordinator tim penasihat hukum Harijanto Karjadi, menegaskan bahwa selain tidak tepat, putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang memvonis kliennya 2 tahun pidana penjara pada 21 Januari 2020 lalu sebagai bentuk kekhilafan.

“Klien kami (Harijanto Karjadi) dinilai terbukti menggunakan akta otentik jual-beli saham yang dipalsukan adalah tidak tepat karena akta yang dimaksud belum atau tidak pernah dinyatakan palsu secara hukum,” kata Petrus Bala Pattyona dalam keterangan persnya, Kamis (30/1).

Baca Juga: Bos Hotel Kuta Paradiso divonis 2 tahun penjara

Petrus menjelaskan bahwa Akta No. 10 tentang pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 12 November 2011 yang menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) sampai hari ini secara hukum tidak pernah dinyatakan palsu dan atau berisi keterangan palsu.

“Jadi bagaimana mungkin akta yang belum pernah dinyatakan palsu secara hukum sekonyong-konyong sudah dianggap palsu, dan klien saya dituding menggunakan akta yang dianggap palsu itu sehingga dinyatakan terbukti bersalah sesuai Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” katanya, heran.

Dengan panjang lebar, Petrus menjelaskan dan memerinci kejanggalan dan keanehan pertimbangan putusan majelis hakim terkait Akta No. 10 sebagai dasar dakwaan dan tuntutan yang diajukan JPU serta kaitannya dengan Akta No. 11 tentang perubahan susunan pengurus PT GWP  yang  dikirimkan oleh notaris I Gusti Ayu Nilawati ke Kemenkumham pada 2011.

“Karena itu, kami berharap majelis hakim pengadilan tinggi bisa memberikan putusan yang lebih masuk akal dan adil terkait dengan upaya banding kami ajukan,” katanya. 

Baca Juga: Kecewa vonis pengadilan, Harijanto Karjadi ajukan banding

Seperti diketahui, tim JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya mendakwa Harijanto Karjadi dengan tiga dakwaan alternatif, yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam pembacaan tuntutan, JPU menilai dakwaan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terbukti dalam proses persidangan, sehingga pihaknya mengajukan tuntutan pidana 3 tahun penjara terhadap Harijanto Karjadi.

Akan tetapi, majelis hakim dalam pertimbangan putusannya dengan tegas justru menyatakan bahwa terdakwa Harijanto Karjadi tidak terbukti sebagai pelaku dugaan tindak pidana memberikan atau turut menyuruh memberikan keterangan palsu dalam akta otentik sesuai Pasal 266 ayat (1) KHUP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Harijanto, Hartono dan Sri adalah kakak-beradik kandung keluarga besar Karjadi. Selain menjabat Dirut PT GWP, Harijanto juga pemilik saham mayoritas perusahaan yang mengoperasikan Hotel Kuta Paradiso tersebut.

Baca Juga: Tomy Winata di Pusaran Kuta Paradiso

Sementara Hartono adalah pemegang saham minoritas, yang atas alasan kesehatan, menjual dan mengalihkan sahamnya kepada Sri Karjadi pada November 2011.

Perkara pidana itu bermula dari laporan yang dibuat Desrizal, kuasa hukum Tomy Winata pada 27 Februari 2018 ke Ditreskrimsus Polda Bali, sehubungan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dengan terlapor Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi.

Berdasarkan surat dakwaan JPU, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari US$ 20 juta terkait dengan peristiwa pengalihan saham pada 12 November 2011 dari Hartono ke Sri tersebut, padahal Tomy Winata sendiri membeli hak tagih piutang PT GWP yang diklaim Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) pada 12 Februari 2018 itu dengan harga Rp 2 miliar.

Selain melapor ke Polda Bali, Tomy Winata juga mengajukan gugatan perdata wanprestasi terhadap PT GWP dan Harijanto Karjadi dkk di PN Jakarta Pusat dengan menuntut ganti rugi lebih dari US$ 31 juta.

Baca Juga: Bos Hotel Kuta Paradiso bantah beri keterangan palsu

Tapi gugatan Tomy Winata tersebut ditolak pada 18 Juli 2019 melalui Putusan Perkara Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst, dan putusan tersebut dikuatkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan Nomor: 702/PDT/2019/PT.DKI tanggal 26 Desember 2019.

Terkait jual-beli dan pengalihan piutang PT GWP dari Bank CCBI kepada Tomy Winata, Fireworks Ventures Limited yang mengklaim sebagai kreditur tunggal PT GWP mengajukan gugatan dalam perkara No. 555/pdt.G/2018/PN. Jkt. Utr.

Dalam perkara ini, majelis hakim menilai Bank CCBI dan Tomy Winata telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan pengalihan hak tagih piutang PT GWP pada 12 Februari 2018, dan menyatakan pengalihan  itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Terhadap putusan ini, Bank CCBI lewat kuasa hukum Otto Hasibuan mengajukan banding. Hal serupa ditempuh Tomy Winata melalui kuasa hukum Maqdir Ismail.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×