Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Seperti diketahui, tim JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya mendakwa Harijanto Karjadi dengan tiga dakwaan alternatif, yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam pembacaan tuntutan, JPU menilai dakwaan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terbukti dalam proses persidangan, sehingga pihaknya mengajukan tuntutan pidana 3 tahun penjara terhadap Harijanto Karjadi.
Akan tetapi, majelis hakim dalam pertimbangan putusannya dengan tegas justru menyatakan bahwa terdakwa Harijanto Karjadi tidak terbukti sebagai pelaku dugaan tindak pidana memberikan atau turut menyuruh memberikan keterangan palsu dalam akta otentik sesuai Pasal 266 ayat (1) KHUP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Harijanto, Hartono dan Sri adalah kakak-beradik kandung keluarga besar Karjadi. Selain menjabat Dirut PT GWP, Harijanto juga pemilik saham mayoritas perusahaan yang mengoperasikan Hotel Kuta Paradiso tersebut.
Baca Juga: Tomy Winata di Pusaran Kuta Paradiso
Sementara Hartono adalah pemegang saham minoritas, yang atas alasan kesehatan, menjual dan mengalihkan sahamnya kepada Sri Karjadi pada November 2011.
Perkara pidana itu bermula dari laporan yang dibuat Desrizal, kuasa hukum Tomy Winata pada 27 Februari 2018 ke Ditreskrimsus Polda Bali, sehubungan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dengan terlapor Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi.
Berdasarkan surat dakwaan JPU, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari US$ 20 juta terkait dengan peristiwa pengalihan saham pada 12 November 2011 dari Hartono ke Sri tersebut, padahal Tomy Winata sendiri membeli hak tagih piutang PT GWP yang diklaim Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) pada 12 Februari 2018 itu dengan harga Rp 2 miliar.