kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.886.000   2.000   0,11%
  • USD/IDR 16.584   54,00   0,32%
  • IDX 6.948   115,61   1,69%
  • KOMPAS100 1.006   18,58   1,88%
  • LQ45 780   15,05   1,97%
  • ISSI 221   2,39   1,10%
  • IDX30 405   7,65   1,93%
  • IDXHIDIV20 477   9,48   2,03%
  • IDX80 113   1,82   1,63%
  • IDXV30 116   1,59   1,39%
  • IDXQ30 132   2,92   2,26%

Mata uang bersama ASEAN belum akan terwujud


Senin, 02 Maret 2015 / 09:28 WIB
Mata uang bersama ASEAN belum akan terwujud
ILUSTRASI. Simak jadwal MPL ID S12 babak reguler putaran terakhir sebelum playoffs, Sabtu, 16 September 2023


Reporter: Amal Ihsan Hadian | Editor: Amal Ihsan

JAKARTA. Penerapan mata uang bersama (single/common currency) negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) belum akan terwujud dalam waktu dekat. Padahal, dalam rumusan awal cetak biru pengembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, penyatuan mata uang negara-negara ASEAN menjadi mata uang tunggal sebenarnya jadi salah satu tujuan.

ASEAN percaya, penerapan mata uang bersama bakal meningkatkan efisiensi perdagangan dengan berkurangnya biaya transaksi. Mata uang tunggal juga  mendongkrak transparansi harga sehingga ada peningkatan aktivitas perekonomian di negara-negara ASEAN.

Makanya, rumusan awal proyek MEA sebetulnya bernama ASEAN Economic and Currency Community (AECC) atau Masyarakat Ekonomi dan Mata Uang ASEAN. Cuma, dalam perkembangannya ASEAN menyadari penyatuan mata uang tunggal butuh waktu lebih lama. Alhasil, rencana pembentukan mata uang tunggal jadi program jangka panjang serta dipisahkan dari rencana MEA.

Apalagi, setelah melihat krisis ekonomi yang terjadi di negara Zona Euro, ASEAN makin tak yakin dengan rencana pembentukan mata uang bersama. Le Luong Minh, Sekretaris Jenderal ASEAN menyatakan, setelah melihat pengalaman euro, tak layak rasanya meneruskan skenario mata uang tunggal ASEAN. Meski common currency mendorong penyatuan ekonomi dan juga sebaliknya, ASEAN menilai MEA tidak harus berujung pada penyatuan mata uang.

Menurut A. Tony Prasetiantono,  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada (UGM), penyatuan mata uang memang memiliki manfaat berupa peningkatan efisiensi perekonomian negara anggotanya. Efisiensi muncul dari berkurangnya biaya transaksi perdagangan antarnegara anggota, melalui hilangnya ongkos transaksi mata uang sekaligus risiko nilai tukar yang biasanya mengikuti transaksi perdagangan. 

Selain itu, penerapan mata uang tunggal juga akan meningkatkan transparansi harga produk yang dihasilkan oleh negara-negara di kawasan mata uang tunggal. Pada kasus zona Euro, penurunan ongkos transaksi yang terjadi mencapai 0,25%–0,5% dari total produk domestik bruto (PDB) masing-masing negara Euro. Stabilitas harga tercipta dan kesejahteraan ekonomi negara meningkat. “Ini akan sangat terasa di sektor pariwisata,” kata Tony. 

Masalahnya, Asia Tenggara punya kondisi yang berbeda dengan Eropa. Sekilas, kondisi ASEAN dan Euro seperti mirip karena kedua wilayah sama-sama berusaha menyatukan diri. Sebelum melebur menjadi Uni Eropa, negara-negara di Benua Biru membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Tetapi, negara-negara Eropa juga bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).  

Karena itu, lantaran secara ekonomi dan pertahanan Eropa sudah bersatu, maka pembentukan Uni Eropa lebih mudah. Apalagi Eropa juga relatif lebih homogen dari sisi budaya dan agama. Yang tidak kalah penting, “Mayoritas negara Eropa berada dalam satu benua,” kata Muliadi Widjaja, pengamat ekonomi Universitas Indonesia.

Nah, karena ada dalam satu daratan besar, ini memudahkan pergerakan aktivitas perdagangan antarnegara. Itu sebabnya, efek yang diharapkan dari penyatuan mata uang berupa turunnya ongkos transaksi menjadi terasa. Sebaliknya, empat dari lima negara besar ASEAN adalah negara kepulauan yang dipisahkan lautan. 

Tentu, ini memiliki konsekuensi ongkos transaksi. Karena itu, yang harus dilakukan justru membantu kelancaran perdagangan dengan peningkatan servis pelabuhan dan infrastruktur, misalnya. “La, perdagangan antarpulau di Indonesia Barat dan Timur saja masih susah,” ujar Muliadi. 

Problem lain, penerapan sistem mata uang tunggal mensyaratkan penerapan kebijakan moneter secara kolektif. “Dengan kata lain, harus dibentuk bank sentral ASEAN,” ucap Tony. Konsekuensinya tak cuma dana, juga hilangnya fungsi pengelolaan kebijakan moneter di setiap negara anggota. Walhasil, pemerintah tidak lagi punya instrumen kebijakan untuk menstimulasi atau melakukan kontraksi perekonomiannya secara individual. 

Meski begitu, bukan berarti wacana penyatuan mata uang menjadi tertutup. Salah satunya, dengan menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan antarnegara ASEAN. Peter Jacobs, Direktur Departemen Komunikasi BI, mengatakan, mekanisme tersedia dalam perjanjian bilateral mata uang atau bilateral currency swap arrangement (BCSA). 

Saat ini, BI sudah meneken BCSA dengan bank sentral Korea Selatan untuk mempromosikan perdagangan kedua negara sekaligus memperkuat kerjasama keuangan. Perjanjian itu bisa mengurangi risiko valuta asing lain yang dialami pelaku usaha kedua negara.

Cuma, Jepang pernah mengusulkan pembentukan Asian Monetary Unit (AMU), mirip European Currency Unit (ECU), cikal bakal euro. Tapi, usulan ini tak menuai sambutan yang memuaskan. Tony menilai, ASEAN common currency baru terbentuk 25 tahun lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×