kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.884.000   -21.000   -1,10%
  • USD/IDR 16.625   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.833   5,05   0,07%
  • KOMPAS100 987   -1,19   -0,12%
  • LQ45 765   1,61   0,21%
  • ISSI 218   -0,33   -0,15%
  • IDX30 397   1,17   0,30%
  • IDXHIDIV20 467   0,48   0,10%
  • IDX80 112   0,13   0,12%
  • IDXV30 114   0,08   0,07%
  • IDXQ30 129   0,38   0,29%

AS-China Pangkas Tarif Untuk 90 Hari Ke Depan, Ekonom: RI Perlu Manfaatkan Peluang


Selasa, 13 Mei 2025 / 13:23 WIB
AS-China Pangkas Tarif Untuk 90 Hari Ke Depan, Ekonom: RI Perlu Manfaatkan Peluang
ILUSTRASI.  (KONTAN/Carolus Agus Waluyo). Kesepakatan dagang antara AS dan China yang diumumkan pada 12 Mei 2025 menandai titik balik penting dalam dinamika ekonomi global.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang diumumkan pada 12 Mei 2025 menandai titik balik penting dalam dinamika ekonomi global. 

Kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif secara timbal balik dalam jangka waktu 90 hari, membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang yang selama ini menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, memperlemah rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga global.

Keputusan ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral AS-Tiongkok, tetapi juga menciptakan efek berantai ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menjelaskan, dalam pertemuan yang digelar di Jenewa, kedua negara sepakat menurunkan tarif yang sebelumnya mencapai 145% dari pihak AS dan 125% dari pihak Tiongkok. 

Hal ini disambut pasar dengan antusias. Indeks saham Eropa seperti STOXX 600 dan DAX Jerman mengalami kenaikan, mencerminkan optimisme pelaku pasar atas berakhirnya ketegangan dagang.

Baca Juga: Menakar Untung & Buntung Tawaran Indonesia Untuk Mengimpor Migas Lebih Banyak dari AS

Menurutnya, Indonesia perlu memanfaatkan peluang dari penurunan ketegangan dagang ini untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat posisi tawar dalam rantai pasok global. 

"Dengan berkurangnya tekanan harga dari gangguan pasokan dan melonjaknya biaya produksi akibat tarif, dunia usaha Indonesia berpotensi mendapatkan akses yang lebih kompetitif ke pasar global," ujar Syafruddin kepada Kontan.co.id, Selasa (13/5).

Dalam sektor manufaktur, peluang untuk meningkatkan ekspor ke Tiongkok dan AS bisa terbuka jika kedua negara mulai mencari mitra dagang baru untuk menggantikan produk yang sebelumnya terkena tarif tinggi.

Namun ia juga mengingatkan adanya risiko pembelokan arus perdagangan (trade diversion), di mana beberapa keuntungan yang sebelumnya dinikmati Indonesia akibat perang dagang bisa kembali direbut Tiongkok. 

Oleh karena itu, strategi negosiasi bilateral dan peningkatan daya saing domestik menjadi sangat penting untuk menjaga momentum perdagangan nasional.

Kesepakatan ini memberi sinyal bahwa pendekatan diplomatik masih memiliki ruang dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Sebelumnya, Tiongkok enggan memulai pembicaraan, menyebut kebijakan tarif Trump sebagai bentuk “pemaksaan sepihak”.

Namun, kekhawatiran atas dampak ekonomi dalam negeri termasuk potensi kehilangan hingga 16 juta pekerjaan akibat terhentinya perdagangan dengan AS dan memaksa Beijing untuk lebih fleksibel.

Ia juga mencermati bahwa kesepakatan ini menunjukkan adanya perubahan pendekatan dari kedua pihak yang sebelumnya bersikap keras. 

Selain itu, ia menyoroti reposisi strategis Tiongkok yang kini aktif mempererat hubungan dengan ASEAN dan Uni Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar. Kunjungan PM Li Qiang ke Malaysia dan upaya Tiongkok mendekati Eropa menjadi strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Syafruddin menegaskan bahwa kesepakatan dagang AS-China yang mengurangi tarif dalam 90 hari membuka peluang stabilisasi bagi ekonomi global. 

Oleh karena itu, Indonesia harus memanfaatkan celah ini untuk mendorong ekspor, memperkuat daya saing, dan memposisikan diri sebagai mitra strategis yang adaptif.

"Kesepakatan ini bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk negosiasi lebih luas dan reformasi struktural yang lebih dalam," katanya.

Menurutnya, langkah konkret dan visi strategis menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global, tetapi berperan aktif membentuk arah baru perdagangan internasional.

Baca Juga: Tarif AS-China Turun Sementara, Peluang Emas bagi Ekspor Bahan Baku Indonesia!

Selanjutnya: Update Harga BBM Pertamina, Shell, BP dan Vivo per 13 Mei 2025

Menarik Dibaca: Ancam Posisi KKN di Desa Penari, Jumlah Penonton Film Jumbo Tembus 9,47 Juta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×