kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Masuk bulan ke-6 pandemi corona, ancaman Indonesia saat ini orang tanpa gejala


Rabu, 02 September 2020 / 08:41 WIB
Masuk bulan ke-6 pandemi corona, ancaman Indonesia saat ini orang tanpa gejala
ILUSTRASI. Penyebaran Covid-19 di Indonesia kini memasuki bulan keenam. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19 di Indonesia kini telah memasuki bulan keenam. Kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan pada awal Maret lalu. Namun, sampai saat ini jumlah kasus terinfeksi masih terus meningkat.

Bahkan, dari data terbaru pemerintah, pasien terinfeksi Covid-19 hingga 1 September 2020 mencapai 177.571 orang dan sebanyak 7.505 meninggal dunia. 

Menurut epidemiolog Griffith University Dicky Budiman, tingginya angka tersebut belum merupakan puncak kasus Covid-19 di Indonesia. Kemungkinan, Indonesia masih akan menghadapi Covid-19 hingga akhir tahun depan. 

Baca Juga: Kasus harian Covid-19 di Indonesia menanjak, kapan gejala virus corona mulai muncul?

Dominasi Orang Tanpa Gejala 

Selama enam bulan ini, tampaknya Indonesia masih mengahadapi kondisi outbreak asymptomatic, di mana wabah didominasi orang tanpa gejala, karena bonus demografi, yang mayoritas penduduknya adalah usia dewasa muda.

“Saat ini besar kemungkinan, orang-orang usia dewasa muda inilah yang terinfeksi. Karena mereka memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dibanding kelompok lain, sehingga ketika terinfeksi, tidak tampak gejala,” jelas Dicky pada Kompas.com (1/9/2020). 

Baca Juga: Kemenkes: Tak perlu takut, yang positif Covid-19 belum tentu sakit

Namun, yang penting diingat adalah, tidak bergejala bukan berarti tidak sakit. Bukti ilmiah menunjukkan, 50% dari orang tidak bergejala setelah diperiksa dengan CT Scan ternyata memiliki gangguan di paru dan 80% dari orang tanpa gejala mengalami gangguan menetap di jantung. 

Bukan hanya mengalami penurunan kualitas kesehatan, melainkan juga berpotensi menurunkan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia.

“Tentu ini akan merugikan Negara, karena orang-orang yang tadinya diharapkan produktif justru berpotensi jadi pesakitan. Efek penyakit Covid-19 memang tidak bisa dianggap enteng. Karena itu, lebih baik mencegah daripada terinfeksi Covid-19.” 

Baca Juga: Pandemi virus corona tak ganggu pembangunan pusat data AWS di Indonesia

Kolaborasi Belum Optimal 

Dicky melanjutkan, masalah lain yang menyebabkan jumlah terinfeksi Covid-19 terus naik adalah belum adanya kolaborasi yang optimal antar sektor di pemerintahan, termasuk antar daerah dalam pelaksanaan strategi pencegahan.

“Meskipun cakupan testing dan tracig di wilayah Jakarta lebih baik dari wilayah lain, tapi Jakarta tidak menetapkan pengetatan di perbatasan. Sehingga wilayah lain di sekitarnya, yang testing dan tracingnya masih rendah, tetap bebas keluar masuk Jakarta, dengan kemungkinan membawa virus,” papar Dicky. 

Baca Juga: Satgas Penanganan Covid-19 minta pelaku industri taati aturan untuk cegah penyebaran

“Ini sesuai dengan hukum global health community, tidak ada satu wilayah pun yang bisa aman selama wilayah di sekitarnya belum aman,” imbuhnya.

Strategi Menghadapi Pandemi Covid-19 

Melihat jumlah kasus terinfeksi yang terus naik, tentu dibutuhkan langkah tegas dari pemerintah. Dicky menuturkan, strategi utama yang bisa dilakukan untuk menghadapi pandemi Covid-19 adalah menargetkan capaian eliminasi, dengan meningkatkan testing, tracing, isolasi dan karantina, serta perawatan. 

Selain itu juga melakukan edukasi dan sosialisasi pada seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk perubahan perilaku demi mencegah penularan. Bukan hanya didukung pakar kesehatan, para pakar ekonomi global juga telah mengakui, kota yang menargetkan capaian eliminasi sebagai strategi utama dengan kota yang mendahulukan pemulihan ekonomi, terbukti yang menargetkan eliminiasi justru ekonominya lebih cepat pulih, begitu pun kehidupan sosialnya. 

Dicky menambahkan, PSBB atau lockdown tidak termasuk strategi utama pengendalian pandemi. Hal tersebut sifatnya hanya membantu melengkapi strategi utama, agar berjalan maksimal. “Begitu juga dengan vaksin ya. Puluhan tahun pengalaman saya menghadapi pandemi, belum pernah ada pandemi yang selesai dengan vaksin atau obat,” ujarnya. 

Senada dengan Dicky, ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono, juga menegaskan bahwa strategi utama menekan penularan adalah dengan testing, tracing, isolasi di tempat yang telah disediakan pemerintah, serta memberikan edukasi sesuai fakta. Ia pun menilai, vaksin tak dapat menjadi solusi singkat untuk mengatasi pandemi Covid-19. 

“Kalaupun vaksin sudah jadi, kita kan belum tahu hingga berapa lama proteksinya, seberapa besar efektivitasnya, berapa lama waktu yang dibutuhkan jika harus menyediakan vaksin untuk seluruh masyarakat Indonesia,” katanya.

“Dan kita ini berhadapan dengan virus yang sangat mudah bermutasi. Bisa dikatakan sama seperti virus HIV, sudah puluhan tahun mau mengembangkan vaksin belum berhasil, karena virusnya terus bermutasi,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "6 Bulan Pandemi Covid-19, Indonesia Hadapi Ancaman Orang Tanpa Gejala"

Editor : Bestari Kumala Dewi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×