Reporter: kompas.com | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait resmi membatalkan wacana memperkecil rumah subsidi menjadi 18 meter persegi untuk luas bangunannya.
Hal itu disampaikan Ara sebelum memulai paparan saat Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Gedung DPR, Senayan pada Kamis (10/7/2025).
"Hari ini, kami pertama menyampaikan permohonan maaf. Saya punya ide dan mungkin yang kurang tepat. Tapi tujuannya mungkin cukup baik. Tapi mungkin kami juga masih belajar bahwa ide-ide di ranah publik harus lebih baik lagi soal rumah subsidi yang diperkecil," jelasnya dikutip dari kanal Youtube Komisi V DPR RI.
Menurut Ara, tujuan dari ide rumah subsidi 18 meter persegi sejatinya sederhana, yakni menjawab suara anak muda yang ingin memiliki rumah di perkotaan. Namun karena harga tanah di kota mahal, maka muncullah ide memperkecil luas rumahnya.
Baca Juga: Cabut Ide Rumah Subsidi Diperkecil Jadi 18 m2, Maruarar: Saya Mohon Maaf
"Tapi saya sudah mendengar begitu banyak masukan termasuk dari teman-teman anggota DPR Komisi V. Maka saya terbuka menyampaikan permohonan maaf, dan saya cabut ide itu," tandas Menteri PKP itu yang disambut tepuk tangan hadirin di ruangan.
Sebagai informasi, sebelumnya Kementerian PKP berencana memperkecil batas minimal luas rumah subsidi, baik itu bangunan dan tanahnya.
Rencana itu tertuang dalam draf aturan terbaru yang beredar dan sedang dirancang, berupa Keputusan Menteri PKP Nomor.../KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Perumahan Kredit/Pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Apabila dibandingkan dengan aturan yang berlaku sebelumnya, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023, batas minimal luas tanah dan luas bangunan rumah subsidi terlihat berkurang.
Minimal luas tanah sebelumnya dari 60 meter persegi berkurang menjadi 25 meter persegi.
Sementara minimal luas bangunan dari 21 meter persegi berkurang menjadi 18 meter persegi.
Sedangkan batas maksimal luas rumah subsidi masih tetap. Luas tanah maksimal 200 meter persegi dan luas bangunan maksimal 36 meter persegi.
Sempat Bikin Geger
Nah, wacana luas rumah subsidi diperkecil ini sempat membuat geger publik karena dinilai tidak manusiawi. Dikritisi oleh para pakar dan bahkan Wamen PKP Fahri Hamzah.
Fahri mengatakan bahwa rencana pengubahan aturan batas minimal luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
"Itu enggak boleh karena itu bertentangan dengan konsep Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang luas rumah," ujarnya di Jakarta, Rabu (18/06/2025).
Dalam kesempatan berbeda Fahri menilai, begitu luas bangunan rumah subsidi menjadi 18 meter persegi, maka akan langsung masuk kategori rumah tidak layak huni.
"Karena, standarnya (luas per orang) 7,2 (meter persegi) gitu loh," kata Fahri saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Disebut bertentangan karena berlaku bagi rumah dengan skema social housing (perumahan sosial). Namun, dikecualikan bila akan disewa.
Apabila tidak termasuk dalam skema rumah sosial yang digagas oleh Pemerintah maupun didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka kebijakan tersebut sah-sah saja.
"Tapi, kalau dia diregulasikan menjadi rumah sosial itu bertentangan dengan UU gitu loh, saya enggak nggak tahu juga, enggak harusnya sih. Karena, itu kan bertentangan dengan aturan yang ada, harusnya tidak," tutup Fahri.
Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto juga berpendapat bahwa kebijakan terbaru tersebut memunculkan berbagai pertanyaan mendasar, baik dari aspek kelayakan huni maupun implikasi sosial.
Arsitek yang kerap disapa Boegar ini menilai, ukuran memang memungkinkan untuk memenuhi fungsi dasar tempat berteduh secara teknis. Namun, jika dibandingkan dengan standar kebutuhan ruang gerak minimal manusia di lingkungan perkotaan yang berkisar pada 4,5 meter persegi per individu, maka kapasitas ruang ini menjadi sangat terbatas. Ini terlebih jika dihuni lebih dari satu orang.
"Rumah tidak lagi menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang, melainkan hanya menjadi tempat “bertahan hidup"," ucap dia kepada Kompas.com, Sabtu (14/6/2025).
Kondisi hunian yang terlalu sempit ini pun berpotensi besar menurunkan kualitas interaksi sosial dalam rumah tangga, yang kemudian bisa meluas ke lingkungan sekitar.
"Ketegangan dalam ruang terbatas cenderung menumpuk, tanpa ada ruang pelampiasan yang sehat, menciptakan situasi kohesi sosial yang rapuh dan bahkan agresif," tambahnya.
Bahkan, interaksi antar-penghuni rumah bisa berubah menjadi konflik laten, terutama dalam keluarga dengan anak-anak atau lansia yang membutuhkan ruang lebih luas untuk beraktivitas sehari-hari.
Dari sisi perencanaan kota dan arsitektur, rumah-rumah dengan luasan ultra-mikro seperti ini justru menciptakan tekanan jangka panjang pada ekosistem sosial perkotaan.
"Alih-alih mengentaskan masalah keterjangkauan, pendekatan ini bisa menjerumuskan penghuni ke dalam siklus kemiskinan baru yaitu kemiskinan ruang dan kualitas hidup," tambahnya.
Padahal, rumah seharusnya menjadi alat pemberdayaan sosial, bukan sekadar bangunan fisik murah. Namun seiring dengan pernyataan terbaru Ara, maka rumah subsidi batal diperkecil.
Baca Juga: Rumah Subsidi akan Diperkecil, Hashim Djojohadikusumo Sebut Itu Masih Kajian
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setelah Bikin Geger, Ara Batal Perkecil Rumah Subsidi", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/properti/read/2025/07/10/152329721/setelah-bikin-geger-ara-batal-perkecil-rumah-subsidi?page=2.
Selanjutnya: Banyak Produk Diproduksi di Asia, Uniqlo Bakal Menaikkan Harga di Amerika Serikat
Menarik Dibaca: Produksi Melon Turun, Petani Minta Akses Benih Tahan Virus
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News