kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mampu Melewati Guncangan Ekonomi Global, Pertumbuhan Indonesia Hanya Sementara?


Selasa, 05 Juli 2022 / 07:50 WIB
Mampu Melewati Guncangan Ekonomi Global, Pertumbuhan Indonesia Hanya Sementara?
ILUSTRASI. aat masuk ke babak baru pengetatan moneter yang dipimpin oleh Federal Reserve AS, ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan pasar modalnya telah menunjukkan ketahanan yang sangat baik. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay


Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satu dekade lalu, Indonesia mendapat label yang tidak diinginkan sebagai salah satu dari apa yang disebut pasar negara berkembang "Fragile Five". Fragile Five adalah negara-negara yang ekonominya sangat rentan terhadap arus keluar modal dan kemerosotan mata uang setiap kali suku bunga global naik.

Akan tetapi, kini, saat masuk ke babak baru pengetatan moneter yang dipimpin oleh Federal Reserve AS, ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan pasar modalnya telah menunjukkan ketahanan yang sangat baik. 

Melansir Reuters, Bank sentral Indonesia termasuk salah satu bank sentral yang tidak hawkish di dunia. BI tidak memberikan petunjuk kapan akan menaikkan suku bunga, sementara inflasi baru saja naik di atas kisaran target 2% -4%. Selain itu, rupiah adalah salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.

Hal ini kontras dengan kejadian tahun 2013, ketika Fed hanya menyebutkan rencana untuk mengurangi stimulus, namun kondisi itu memicu arus keluar modal yang tidak stabil sehingga membuat rupiah anjlok 20%. Kondisi itu memaksa Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga sebesar 175 basis poin.

"Di Indonesia... belum ada kenaikan suku bunga kebijakan dari tahun ke tahun. Sekarang itu sangat jarang terjadi," kata Ivan Tan, analis lembaga keuangan lembaga pemeringkat S&P, dalam sebuah seminar pekan lalu.

Baca Juga: Kata Gubernur BI Perry Warjiyo soal R&I Pertahankan Rating Utang RI

Dia menambahkan, terlepas dari beberapa risiko politik, Indonesia tampaknya mampu melewati kondisi ekonomi lebih baik daripada negara-negara lain yang tergabung dalam Fragile Five, yakni India, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil.

Para pembuat kebijakan mengatakan mereka telah belajar dari krisis masa lalu dan merancang kebijakan seperti mendirikan pasar valuta asing domestik yang tidak dapat dikirim, mempromosikan penggunaan mata uang lain yang lebih besar dalam perdagangan dan investasi dibanding dolar AS, serta menjual lebih banyak obligasi kepada investor lokal untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada uang panas asing.

Meskipun ada perdebatan tentang seberapa banyak kebijakan ini telah membantu, para analis setuju bahwa rekor ekspor yang tinggi di tengah ledakan komoditas global telah membantu Indonesia menopang ketahanan ekonominya.

"Indonesia diuntungkan sebagai pengekspor komoditas bersih ... Indonesia berada di tempat yang sangat baik untuk mengendalikan beberapa tekanan inflasi sisi penawaran yang dihadapi beberapa ekonomi lain," kata Tan dari S&P.

Baca Juga: Cemas Ancaman Inflasi, Dana US$ 40 Miliar Kabur dari Pasar Asia

Ini tidak hanya membantu negara kaya sumber daya mencatat surplus transaksi berjalan, tetapi juga membantu pemerintah mengurangi target penjualan obligasi dan mendanai subsidi energi untuk melindungi 270 juta penduduknya dari harga minyak global yang tinggi.

Selain itu, pasar saham Indonesia naik lebih dari 5% year-to-date dibandingkan dengan penurunan di pasar ekuitas utama Asia lainnya, setelah jadwal IPO tersibuk di Asia Tenggara tahun lalu.

Pihak berwenang berharap stabilitas pasar keuangan akan memungkinkan ekonomi tumbuh setidaknya 6% per tahun, sehingga Indonesia dapat mencapai tujuan menjadi negara kaya pada tahun 2045, bertepatan dengan ulang tahun ke-100 Indonesia. 

Target jangka panjang Indonesia juga termasuk memeras lebih banyak dari sumber dayanya yang cukup termasuk mineral seperti bijih nikel dengan memproses lebih banyak di dalam negeri.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan fokus pemerintah untuk meningkatkan rantai pemrosesan komoditas akan mengubah struktur keseimbangan eksternal Indonesia, memperkuat aliran modal dengan investasi asing langsung sambil mendiversifikasi ekspor.

Baca Juga: R&I Pertahankan Rating Utang RI, Begini Respons Bos Bank Indonesia (BI)

"Sepanjang tahun defisit (transaksi berjalan) kecil dan neraca pembayaran secara keseluruhan akan surplus. Artinya secara fundamental, suplai valas tinggi dan itu akan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," kata Warjiyo di Gedung BI. 

Pertumbuhan hanya sementara?

Namun, masih ada pertanyaan apakah stabilitas Indonesia dapat dipertahankan seiring dengan langkah The Fed yang diperkirakan masih agresif menaikkan suku bunga lebih lanjut, harga komoditas mendingin dan risiko resesi global membayangi.

"Sebagian besar peningkatan (Indonesia) tampaknya bersifat sementara," jelas Thomas Rookmaaker, kepala negara Asia-Pasifik di Fitch Ratings, mengatakan kepada Reuters.

Baca Juga: Kinerja Reksadana Diproyeksi Masih Volatile Memasuki Kuartal III-2022

Fitch, yang menegaskan peringkat layak investasi Indonesia pekan lalu, memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps tahun ini dan 100 bps lagi pada 2023 untuk membatasi perbedaan suku bunga dengan Amerika Serikat dan menghindari depresiasi rupiah yang tajam, katanya.

Tan dari S&P juga memperkirakan tekanan pada rupiah tahun ini di tengah pengetatan moneter global.

Namun beberapa analis melihat BI tidak terburu-buru menaikkan suku bunga karena inflasi inti yang rendah.

Damhuri Nasution, ekonom BNI Securities, mengatakan ekspor akan tetap kuat untuk sementara waktu, memberi BI waktu untuk fokus pada pertumbuhan dan memantau risiko resesi.

Sementara itu, beberapa investor asing mendukung kisah pertumbuhan Indonesia.

Baca Juga: Inflasi Jadi Momok Menakutkan di Kawasan Asia, Termasuk Indonesia

Kepala strategi Jupiter Asset Management untuk pasar negara berkembang global, Nick Payne, merekomendasikan overweight terhadap ekuitas Indonesia, dan mengantisipasi pemulihan lanjutan dari pandemi.

"Inflasi yang moderat, posisi transaksi berjalan yang baik dan harga komoditas yang kuat, semuanya berkontribusi pada stabilitas rupiah selama lingkungan global yang sulit saat ini," kata Payne kepada Reuters. 

Dia memperkirakan periode panjang pertumbuhan yang kuat untuk keuntungan perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×