Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satu dekade lalu, Indonesia mendapat label yang tidak diinginkan sebagai salah satu dari apa yang disebut pasar negara berkembang "Fragile Five". Fragile Five adalah negara-negara yang ekonominya sangat rentan terhadap arus keluar modal dan kemerosotan mata uang setiap kali suku bunga global naik.
Akan tetapi, kini, saat masuk ke babak baru pengetatan moneter yang dipimpin oleh Federal Reserve AS, ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan pasar modalnya telah menunjukkan ketahanan yang sangat baik.
Melansir Reuters, Bank sentral Indonesia termasuk salah satu bank sentral yang tidak hawkish di dunia. BI tidak memberikan petunjuk kapan akan menaikkan suku bunga, sementara inflasi baru saja naik di atas kisaran target 2% -4%. Selain itu, rupiah adalah salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Hal ini kontras dengan kejadian tahun 2013, ketika Fed hanya menyebutkan rencana untuk mengurangi stimulus, namun kondisi itu memicu arus keluar modal yang tidak stabil sehingga membuat rupiah anjlok 20%. Kondisi itu memaksa Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga sebesar 175 basis poin.
"Di Indonesia... belum ada kenaikan suku bunga kebijakan dari tahun ke tahun. Sekarang itu sangat jarang terjadi," kata Ivan Tan, analis lembaga keuangan lembaga pemeringkat S&P, dalam sebuah seminar pekan lalu.
Baca Juga: Kata Gubernur BI Perry Warjiyo soal R&I Pertahankan Rating Utang RI
Dia menambahkan, terlepas dari beberapa risiko politik, Indonesia tampaknya mampu melewati kondisi ekonomi lebih baik daripada negara-negara lain yang tergabung dalam Fragile Five, yakni India, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil.
Para pembuat kebijakan mengatakan mereka telah belajar dari krisis masa lalu dan merancang kebijakan seperti mendirikan pasar valuta asing domestik yang tidak dapat dikirim, mempromosikan penggunaan mata uang lain yang lebih besar dalam perdagangan dan investasi dibanding dolar AS, serta menjual lebih banyak obligasi kepada investor lokal untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada uang panas asing.
Meskipun ada perdebatan tentang seberapa banyak kebijakan ini telah membantu, para analis setuju bahwa rekor ekspor yang tinggi di tengah ledakan komoditas global telah membantu Indonesia menopang ketahanan ekonominya.
"Indonesia diuntungkan sebagai pengekspor komoditas bersih ... Indonesia berada di tempat yang sangat baik untuk mengendalikan beberapa tekanan inflasi sisi penawaran yang dihadapi beberapa ekonomi lain," kata Tan dari S&P.
Baca Juga: Cemas Ancaman Inflasi, Dana US$ 40 Miliar Kabur dari Pasar Asia