Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tim Penasihat Hukum Nadiem Anwar Makarim menyampaikan replik atas jawaban yang disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (6/10) lalu.
Prosedur hukum yang dijalankan Kejagung dalam penetapan tersangka terhadap Mendikbudristek periode 2019 - 2024 tersebut dinilai cacat hukum, baik secara formil maupun materil, sehingga harus dibatalkan.
Baca Juga: Praperadilan Nadiem Makarim, Ahli Nilai Penetapan Sebagai Tersangka Tidak Sah
Dalam replik yang disampaikan perwakilan Tim Kuasa Hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir menegaskan bahwa pihaknya menolak dengan tegas proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kejagung terhadap kliennya. Alat bukti yang digunakan Kejagung untuk menetapkan tersangka dinilai tidak cukup kuat. Selain itu, belum adanya perhitungan resmi kerugian keuangan negara (actual loss) yang dijadikan alat bukti.
"Kami dengan tegas membantah dalil Termohon (Kejagung) yang menganggap tindakannya telah sesuai prosedur. Penetapan tersangka terhadap klien kami tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena syarat utama, yaitu dua alat bukti yang sah, belum terpenuhi," ujar Dodi.
Menurut Dodi, salah satu pilar utama dalam hukum acara pidana adalah penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Kejagung justru hingga penetapan tersangka pada 4 September 2025, tidak pernah menjelaskan secara rinci bukti yang dimiliki dan kaitan langsung bukti tersebut dengan Nadiem.
Poin krusial yang digarisbawahi adalah tidak adanya hasil audit resmi dari lembaga negara yang berwenang untuk menghitung kerugian negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam kasus korupsi, bukti adanya kerugian negara dan dapat dihitung merupakan unsur pokok yang harus terpenuhi.
“Tanpa perhitungan resmi dari BPK atau BPKP, maka unsur utama dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak terpenuhi. Artinya, penetapan tersangka ini menjadi prematur dan cacat secara materiil," jelasnya.
Tim kuasa hukum Nadiem berpendapat, asumsi atau audit internal sementara tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk menuduh seseorang telah merugikan negara.
Kejagung sebelumnya hanya menyatakan dari hasil audit sementara dan keterangan saksi internal kementerian yang hanya bersifat dugaan atau persepsi administratif, bukan bukti tindak pidana.
Argumentasi mengenai lemahnya bukti diperkuat dengan adanya dugaan pelanggaran prosedur hukum lainnya. Dodi menjelaskan, Nadiem tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Padahal SPDP merupakan surat pemberitahuan resmi kepada seseorang bahwa dirinya sedang dalam proses penyidikan, yang merupakan hak konstitusional terlapor untuk mempersiapkan pembelaan diri sejak dini.
"Pemohon tidak pernah menerima SPDP dari Termohon. Ketiadaan SPDP tersebut mengakibatkan seluruh proses penyidikan menjadi cacat formil, karena melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mengetahui dan membela diri sejak dini," kata Dodi.
Ditambah lagi, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang digunakan Kejagung bersifat umum, kemudian dijadikan dasar untuk penerbitan Sprindik Khusus. Seharusnya tindakan tersebut tidak bisa dilakukan karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 109 KUHAP.
Berdasarkan kelemahan pada aspek pembuktian dan serangkaian cacat prosedur tersebut, tim kuasa hukum Nadiem memohon kepada hakim praperadilan untuk mengabulkan permohonan seluruhnya. "Kami juga meminta hakim memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menghentikan seluruh proses penyidikan dan memulihkan hak-hak, kedudukan, serta martabat klien kami," ujarnya.
Selanjutnya: Dapat Guyuran Dana dari Pemerintah, Bank Jakarta Akan Salurkan ke Sektor Produktif
Menarik Dibaca: Tunjukkan Boarding Pass, Pengguna KA Bisa Dapat Promo di Hotel Hingga Tempat Wisata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News