Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, anggaran untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) mulai menipis, dan diperkirakan akan habis pada April. Pasalnya, tahun ini kuota FLPP sebesar Rp 11 triliun untuk sekitar 100.000 unit rumah.
Bahkan, anggaran tersebut sudah berkurang sebesar Rp 2 triliun, karena sudah direalisasikan di 2019. Sehingga, sisa kuota tahun ini diperkirakan hanya 86.000 unit rumah.
Plt. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti Setyo Maharso pun mengatakan, kuota FLPP di tahun ini masih kurang dibandingkan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bisa mencapai 300.000 unit.
Baca Juga: Pengembang perkirakan kuota FLPP untuk tahun 2020 akan habis di bulan April
Dia pun berharap ada penambahan kuota FLPP dengan berbagai alternatif solusinya. Setyo menyebut, Kadin bersama dengan stakeholder terkait dalam pendanaan perumahan MBR pun sudah melakukan koordinasi untuk memberikan usulan untuk mengatasi kurangnya kuota FLPP di tahun ini.
"Sebagai garis besar bahwa untuk tahun 2020 ini kita hanya tersedia di bawah 100.000. Padahal di tahun 2019 dan 2018 itu totalnya 283.000. Jadi kita ingin ada solusi terbaik untuk program perumahan karena backlognya juga tinggi," ujar Setyo, Kamis (23/1).
Pertama, diharapkan adanya pengalihan dari dana bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) menjadi mekanisme subsidi selisih bunga (SSB) untuk tahun 2020. Diharapkan, pengalihan ini akan menambah bantuan sebesar 128.125 unit.
Baca Juga: Bank BTN (BBTN) Menargetkan Laba Bersih Rp 3 Triliun Tahun Ini
Kedua, Setyo juga menyebut dana APBD yang mengendap bisa menjadi alternatif pembiayaan yang bisa dikembangkan. Apalagi, dana pemerintah pusat yang mengendap di rekening pemerintah daerah bisa mencapai Rp 186 tirliun, dan bisa ditarik ke pusat 10% atau Rp 18,6 triliun bisa dialihkan ke perumahan sederhana.
"Tidak harus semuanya, kira-kira 10% dialihkan untuk pembiayaan perumahan tentu akan berarti bagi pembangunan perumahan," kata Setyo.
Ketiga, adalah optimalisasi peranan BPJS Ketenagakerjaan dan SMF untuk perumahan, mengingat penyalurannya masih sedikit. BPJS Ketenagakerjaan perlu ada titik temu di Kementerian Ketenagakerjaan untuk tingkat bunga optimal.
Sementara SMF dapat ditingkatkan peranannya secara besar untuk pembiayaan perumahan rakyat. Fleksibilitas SMF dianggap pelru ditingkatkan dalam mendapatkan dan menyalurkan pendanaan.
Baca Juga: Bidik pertumbuhan kredit 10%, Bank BTN kejar penyaluran KPR untuk 230.000 unit
Usul selanjutnya adalah merelokasi sebagian APBN 2020 untuk subsidi LPG yang dianggap tidak tepat sasaran. "Banyak subsidi-subsidi pemerintah yang harus dievaluasi, migas dan sebagainya yang memang tidak tepat sasaran. Alangkah baiknya digeser untuk subsidi perumahan," tutur Setyo.
Tak hanya itu, Ketua Umum Real EState Indonesia (REI) Totok Lusida juga mengusulkan agar pengkategorian konsumen menjadi 2 bagian, dimana yang berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta disalurkan anggaran Rp 1 triliun dengan bunga 5% selama 20 tahun sehingga dapat mencakup 8.888 unit rumah.
Baca Juga: Berikut tiga saham yang terkena suspen BEI sepanjang pekan ini
Sementara, untuk konsumen berpenghasilan antara Rp 4 juta sampai Rp 5 juta disalurkan anggaran sebesar Rp 10 triliun dengan bunga 8% selama 20 tahun sehingga bisa mencakup 141.300 unit rumah. Dengan begitu, Rp 11 triliun dapat mencakup hingga 150.188 unit rumah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News