Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (9/4) mengumumkan penundaan tarif impor yang dikenakan pada sebagian besar negara selama 90 hari.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global dari LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo menilai, penundaan tarif resiprokal oleh AS selama 90 hari untuk semua negara kecuali Tiongkok adalah sesuatu yang sudah dipertimbangkan oleh Trump sebelumnya.
Menurutnya, Trump menggunakan pendekatan game theory, yaitu melihat dulu respon berbagai negara atas tarif resiprokal.
“Ketika ternyata lebih dari 70 negara langsung mengajak negosiasi bilateral maka Trump berhasil mencapai tujuan pertamanya, yaitu weaponizing tarif untuk memaksa negara mitra bernegosiasi,” turur Revindo kepada Kontan, Jumat (11/4).
Menurutnya, upaya Trump tersebut untuk mengantisipasi kegagalan perang tarif jilid I saat presiden Trump periode pertama.
Baca Juga: Tarif Trump Segera Berlaku, tapi Penundaan Pungutan pada 2 April Picu Lonjakan Saham
Adapun perang tarif jilid I tidak berhasil mengurangi defisit neraca perdagangan AS. Hingga akhir periode Presiden Biden pada 2024 lalu defisit neraca perdagangan AS terhadap Tiongkok mencapai lebih dari US$ 300 miliar dan terhadap rest of the world juga defisit US$ 1 triliun.
Lebih lanjut, Revindo membeberkan beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia.
Pertama, tingginya tarif yang diterapkan AS mendorong berbagai negara untuk melakukan negosiasi bilateral dengan AS. Indonesia dapat melakukan hal serupa, memantau langkah serupa dari negara pesaing (di ASEAN) dan tidak terpancing untuk melakukan retaliasi.
Kedua, laporan United States Trade Representative (USTR) menyebutkan bahwa Indonesia dikenakan sanksi perdagangan oleh AS bukan hanya karena tarif impor produk dari AS, tetapi juga atas berbagai kebijakan non-tarif Indonesia dapat mengevaluasi kebijakan hambatan perdagangannya untuk memoderasi persepsi AS terhadap Indonesia.
Keempat, memperkuat kerja sama produksi (menarik FDI untuk produksi intermediate goods) dengan negara-negara industri yang dikenakan tarif lebih rendah oleh AS (Jepang, Singapura, Malaysia).
Kelima, menguatkan kerjasama dengan negara diluar AS: pendalaman kerjasama BRICS, akselerasi aksesi OECD, akselerasi IEU-CEPA, optimalisasi RCEP.
Keenam, tetap melakukan reformasi internal untuk memperbaiki iklim usaha dan investasi, meningkatkan produktivitas dan menurunkan ekonomi biaya tinggi (ICOR).
Ketujuh, perpartisipasi secara aktif dengan berbagai negara untuk mereformasi WTO dan dan mendorong revitalisasi kerja sama multilateral
Kedelapan, penguatan pengawasan terhadap impor ilegal dan penguatan instrumen anti dumping.
Lebih lanjut, ia menilai, kesediaan pemerintah untuk meninjau hambatan tarifnya seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah sinyal yang baik kepada AS.
Meski demikian, pemerintah dinilai harus berhati-hati dalam mempertimbangkan banyak hal. Secara umum terdapat dua instrumen yang bisa dipertimbangkan untuk mengurangi hambatan produk AS di pasar Indonesia, yaitu hambatan tarif dan non tarif (TKDN, kuota, Lartas, dan lainnya).
“Belajar dari kasus Vietnam, AS menolak tawaran tarif 0% Vietnam, tampaknya AS lebih mengincar tingginya hambatan non tarif Vietnam. Mungkin juga AS akan menuntut penghapusan hambatan non tarif Indonesia,” tandansya.
Baca Juga: BEI Sebut Penundaan Tarif Trump 25% Bawa Dampak Positif ke Pasar Modal
Selanjutnya: Promo Deterjen dan Sabun Mandi Weekend 11-13 April 2025, Diskon Sampai 35%
Menarik Dibaca: 6 Hal yang Harus Anda Tahu tentang Diabetes Tipe 2, Apa Sajakah Itu?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News