kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.904.000   -25.000   -1,30%
  • USD/IDR 16.295   -10,00   -0,06%
  • IDX 7.113   44,39   0,63%
  • KOMPAS100 1.038   7,95   0,77%
  • LQ45 802   5,08   0,64%
  • ISSI 229   1,99   0,87%
  • IDX30 417   1,49   0,36%
  • IDXHIDIV20 489   1,52   0,31%
  • IDX80 117   0,66   0,57%
  • IDXV30 119   -0,75   -0,63%
  • IDXQ30 135   0,08   0,06%

KPK Duga Pemerasan TKA Juga Terjadi di Imigrasi, Tak Hanya di Kemenaker


Sabtu, 07 Juni 2025 / 09:46 WIB
KPK Duga Pemerasan TKA Juga Terjadi di Imigrasi, Tak Hanya di Kemenaker
ILUSTRASI. Pemerasan terhadap mereka yang tengah mengurus izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) diduga tidak hanya melibatkan Kemenaker. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.


Sumber: Kompas.com | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerasan terhadap mereka yang tengah mengurus izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) diduga tidak hanya melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

KPK menduga, praktik pemerasan juga terjadi di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).

“Apakah KPK sudah melihat hal tersebut di Imigrasi? Saya sampaikan tentunya dugaan tersebut kami sudah sama dengan apa yang disampaikan, menduga hal tersebut tidak hanya terjadi di Kemenaker,” kata Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo kepada wartawan, Jumat (6/6/2025).

Proses Lanjut di Imigrasi

Budi menjelaskan, setelah izin RPTKA diterbitkan Kemnaker, masih ada sejumlah surat yang perlu diurus agar TKA bisa tinggal dan bekerja di Indonesia.

Dua surat izin ini perlu dibuat di bagian Imigrasi. Lalu, kedua surat izin itu wajib dimiliki TKA jika ingin bekerja secara legal di Indonesia.

“Karena bila hanya RPTKA saja masih ada kelanjutannya lagi yang jadi izin dikeluarkan untuk TKA ini tentunya di Imigrasi,” ujar Budi.

Baca Juga: KPK Bakal Dalami Korupsi Izin TKA di Kemnaker hingga Tingkat Menteri

Namun, menurut dia, saat ini penyidik KPK masih terus mendalami kasus korupsi yang diduga telah terjadi sejak tahun 2012 ini.

Respons Kementerian Imipas

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Jenderal Polisi (Purn) Agus Andrianto memastikan bahwa pihaknya mendukung kerja penyidik KPK yang untuk membuat terang kasus korupsi ini.

"Ya pasti mendukung proses yang sedang berjalan," kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Jumat.

Agus menilai, tindakan KPK akan menjadi momentum bagi Kementerian untuk membenahi bagian dari imigrasi yang masih lemah.

Konstruksi Kasus

Sejauh ini, KPK menetapkan delapan orang tersangka dengan delik pemerasan dan gratifikasi kepada calon TKA.

Mereka adalah eks Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Suhartono (SH); Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025 Haryanto (HY); Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker tahun 2017-2019 Wisnu Pramono (WP).

Kemudian, Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA Devi Anggraeni (DA); Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Gatot Widiartono (GTW); serta staf bernama Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), dan Alfa Eshad (ALF).

Secara keseluruhan, para pelaku diduga menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 53,7 miliar.

KPK menyebut, para tersangka berbagi peran dalam memeras para korban.

Dalam menerbitkan izin RPTKA, tiga staf Kemenaker, Putri, Alfa, dan Jamal meminta sejumlah uang kepada pemohon agar dokumen RPTKA disetujui dan diterbitkan.

Permintaan sejumlah uang itu atas perintah dari Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Angraeni.

Proses permohonan RPTKA ini sebenarnya dilakukan secara online. Tapi, staf Kemnaker mendapatkan akses ke nomor WhatsApp calon TKA agar bisa meminta berkas yang kurang dari para pemohon.

Hal ini menjadi jalan masuk bagi Putri, Alfa, dan Jamal untuk meminta sejumlah uang kepada calon TKA.

Jika uang tidak dibayarkan, calon TKA ini tidak diinfokan berkas apa saja yang dibutuhkan. Proses penerbitan izin pun diulur-ulur penerbitannya.

 
Karena tidak ada progres melalui sistem online, calon TKA ini mendatangi kantor Kemnaker dan bertemu tatap muka dengan petugas.

Pada pertemuan tersebut, ketiga staf Kemenaker menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pengesahan RPTKA dan meminta sejumlah uang.

Apabila RPTKA tidak diterbitkan, Budi mengatakan, penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat.

Hal ini, menurut dia, menyebabkan TKA dikenai denda Rp 1.000.000 per hari.

Untuk menghindari denda ini, calon TKA kembali menghubungi para tersangka dan terjerumus lebih jauh dalam jeratan pemerasan.

Selanjutnya: Promo HokBen Terbaru Bulan Juni 2025, Gratis E-Voucher Simple Set Teriyaki 1

Menarik Dibaca: 7 Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Menjual Emas, Anti Rugi!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×