Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Koalisi Indonesia Hebat tak mau DPR memiliki kewenangan yang terlalu kuat, di antaranya dengan mengajukan hak interpelasi dan hak angket di tingkat komisi, seperti yang diatur di dalam UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Koalisi Indonesia Hebat atau KIH pun meminta aturan itu diubah. Hal ini membuat penandatanganan kesepakatan rekonsiliasi antara KIH dan Koalisi Merah Putih tertunda.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Kadir Karding, mengatakan alasan KIH ingin mengubah aturan itu, yakni karena Indonesia adalah negara dengan sistem presidensial, bukan parlementer.
"DPR yang terlalu kuat bukan tujuan kita berbangsa dan bernegara," kata Karding, dalam konferensi pers di Ruang Fraksi PKB, Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2014).
Oleh karena itu, lanjut Karding, revisi UU MD3 yang mengatur hak interpelasi dan hak angket perlu dilakukan. UU MD3 mengatur bahwa setiap keputusan komisi DPR harus dijalankan oleh pemerintah. Jika ada satu saja keputusan yang tidak dijalankan, maka DPR memiliki celah untuk menginterpelasi pemerintah.
"Ini membawa negara kita pada sistem yang substansinya parlementer," ujarnya.
Menurut dia, persoalan ini harus diselesaikan bersama dengan kepala dingin. Dia berharap, kedua belah pihak bisa mencapai kesepakatan.
Ketentuan yang mengatur hak interpelasi dan hak angket terdapat dalam Pasal 98 ayat 6, 7, dan 8 UU MD3. Ketiga pasal itu mengatur kewajiban pemerintah menaati keputusan komisi DPR yang dapat berujung pada penggunaan hak interpelasi dan angket jika dilanggar.
DPR juga bisa meminta sanksi administratif atas pejabat yang tak patuh. Sementara itu, pada Pasal 74 UU MD3, DPR diperbolehkan menggunakan hak interpelasi apabila pejabat negara mengabaikan rekomendasi Dewan. (Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News