Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dijalankan PT Internux, produsen modem Bolt! 4G LTE akhirnya berakhir homologasi alias damai. Keberatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) soal rencana perdamaian akhirnya disiasati dengan munculnya klausul ekstra.
Keberatan Kominfo sejatinya bisa jadi sumber utama yang membuat Internux pailit. Sebab, pada dasarnya Kominfo tak bisa menjalankan rencana perdamaian yang diajukan Internux.
Persoalan ini bermula ketika Kominfo mendaftarkan tagihan dalam PKPU Internux senilai Rp 463 miliar atas biaya penggunaan Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) 2,3 GHz. Sementara Izin didapatkan Internux sejak 2009, dan akan kedaluwarsa pada 2019. Atau berlaku selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang satu kali untuk berlaku 10 tahun.
Sementara dalam rencana perdamaian yang diajukan, Internux punya opsi untuk membayar utang sampai 30 tahun pasca homologasi. Ini yang disebut Kepala Bagian Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Fauzan Priyadhani ketentuan tersebut bertentangan dengan UU 36/1999 tentang Telekomunikasi.
"Klausul tersebut bertentangan dengan UU 36/1999 tentang Telekomunikasi. Tapi tadi sebelum membacakan putusan, majelis bertanya ke saya apa keberatan Kominfo? Saya jelaskan, tapi kemudian debitur bilang dalam perjanjian perdamaian ada klausul yang menyebutkan bahwa jika rencana perdamaian bertentangan dengan perundang-undangan, maka tak bisa dilaksanakan," jelas Fauzan kepada Kontan.co.id usai sidang putusan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Rabu (14/11).
Menurut Fauzan, klausul baru itu tiba-tiba muncul dalam perjanjian perdamaian. Sementara ia mengaku tak ada ketentuan macam itu dalam rencana perdamaian yang diajukan Internux. Kontan yang memiliki rencana perdamaian Internux pun tak menemukan ketentuan yang dimaksud.
Proses PKPU Internux hanya berjalan selama 45 hari, atau masih dalam batas waktu PKPU sementara. Selama itu pula Internux hanya satu kali mengajukan rencana perdamaian, tanpa pernah merevisinya. Rencana perdamaian ini pula yang diajukan untuk voting.
Fauzan juga bilang, ada beberapa klausul terkait yang juga muncul tanpa pernah hadir dalam rencana perdamaian. Misalnya jika ada perselisihan kelak, Internux memang membuka sarana negosiasi. Sayangnya kata Fauzan, ketentuan tak boleh jauh dari rencana perdamaian awal.
"Misalnya ada perselisihan kemudian kita negosiasi, tapi ada ketentuan lagi yang bilang, klausul baru tak bisa terlalu jauh dengan rencana perdamaian. Sebenarnya sama saja kan artinya, tidak ada yang baru. Sehingga kembali berpotensi melanggar regulasi Telekomunikasi," sambung Fauzan.
Sementara itu Pengurus PKPU Internux Tommy Sugih bilang bahwa pada dasarnya perjanjian perdamaian, dengan rencana perdamaian pada dasarnya berbeda.
"Saya kurang setuju jika disebut ada ketentuan yang tiba-tiba muncul. Karena perjanjian perdamaian itu kan yang ditandatangani oleh kreditur juga sebelum diputuskan. Tapi kalau kemudian ada yang berbeda itu sudah urusan kreditur dan debitur, pengurus hanya, katakanlah membuat perjanjian perdamaian lebih ramping," kata Tommy kepada Kontan.co.id, dalam kesempatan yang sama.
Tommy juga menambahkan, bahwa jika pada akhirnya para kreditur tak sepakat ataupun Internux tak menjalankan perjanjian perdamaian, para kreditur punya opsi untuk mengajukan permohonan pembatalan homologasi kelak.
Meskipun, jika menilik rencana perdamaian, sejatinya kreditur baru bisa mengajukan pembatalan homologasi jika Internux gagal membayar utang pada tahun ke-30.
Sedangkan Presiden Direktur, Internux Dicky Meochtar bersama kuasa hukumnya, Sarmauli Simangunsong dari Kantor Hukum Nindyo & Associates enggan memberikan tanggapan apapun usai sidang.
Mengingatkan, Internux yang merupakan entitas anak PT First Media Tbk (KBLV) musti merestrukturisasi utang-utangnya melalui jalur PKPU semenjak 17 September 2018 lalu. Perkara terdaftar dengan nomor 126/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.
Internux masuk belenggu PKPU dari permohonan PT Equasel Selaras, dan PT Intiusaha Solusindo. Dalam permohonannya Equasel berupaya menagih utang Internux senilai Rp 3,21 miliar, sementara tagihan Intiusaha senilai Rp 932 juta.
Sementara dalam proses PKPU Internux musti menanggung utang senilai Rp 4,695 triliun yang berasal dari 2 kreditur separatis (dengan jaminan) sebesar Rp 226 miliar, dan 281 kreditur konkuren (tanpa jaminan) senilai Rp 4,469 triliun.
Mulanya daftar tagihan PKPU Internux mencapai Rp 5,659 triliun. Namun nilai menciut sebab Raiffeisen Bank AG International yang memegang tagihan separatis senilai Rp 48 miliar, dan konkuren senilai Rp 916 miliar memilih hengkang dari proses PKPU. Dalam voting rencana perdamaian Internux, hasilnya sebanyak 79,65% suara konkuren menyetujui perdamaian, dan 100% suara separatis bersuara sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News