Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Mengantongi suara mayoritas yang menyetujui rencana perdamaian tak menjamin produsen Bolt, PT Internux mengakhir Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan homologasi.
Selain, beberapa kreditur Internux yang telah menyatakan diri menolak homologasi, masalah baru juga datang di penghujung PKPU. Internux belum menyepakati pengajuan imbalan jasa untuk pengurus PKPU. Dua hal ini, sejatinya bisa membuat Internux jatuh pailit, meski hasil voting menyetujui perdamaian.
Sebagaimana dalam pasal 285 ayat (2) huruf b, dan huruf d UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan pengadilan dapat wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian (homologasi) jika (huruf b) pelaksanaan perdamaian tak cukup terjamin, dan (huruf d) imbalan jasa dan biaya pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
Soal penolakan dari kreditur misalnya muncul dari PT Mac Sarana Djaya, dan PT Centratama Menara Indonesia dua afiliasi PT PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT) ini enggan PKPU Intermux berakhir homologasi. Sebab, keduanya menilai rencana perdamaian yang diajukan Internux tak menjamin pelaksanaan perdamaian.
"Dalam proposal perdamaian akan dicicil selama 10 tahun, tapi bisa di rollback selama 360 bulan, atau selama 30 tahun. Poin ini yang tak memberikan jaminan, bagaimana utang mau dibayar kalau pembayaran terus menerus ditunda?" Kata Legal Manager Mac Bima Saputra kepada Kontan.co.id, Senin (13/11).
Dalam rencana perdamaian Internux yang didapatkan Kontan.co.id diketahui, Internux mengkategorikan enam jenis utang: usaha, afiliasi, provider tower, biaya frekuensi, pembiayaan, dan outsourcing. Nah, kecuali outsourcing, pembayaran akan dilakukan Internux secara mencicil per tahun dengan porsi 5%-15% dari total utang selama 10 tahun.
Namun, jika cicilan pertahun gagal dibayar, Internux punya opsi untuk menagguhkan utang dan mengakumulasikannya ke waktu jatuh tempo berikutnya, terus menerus hingga akhir tahun kesepuluh. Sialnya bagi kreditur, masih ada tambahan klausul yang menyebutkan, jika pada tahun kesepuluh utang belum lunas, Internux masih punya waktu maksimal 30 tahun untuk melunasinya.
"Adalagi ketentuan yang serta merta meniadakan perjanjian-perjanjian kami dengan debitur kalau dinilai menghambat proses restrukturisasi," sambung Bima.
Sebelumnya, PT Indosat Tbk (ISAT) dalam rapat pembahasan proposal telah menolak ketentuan ini. Kuasa hukum Indosat Hendry Muliana Hendrawan dari Kantor Hukum AKHH Laywer menilai ketentuan tersebut sepihak.
"Ketentuan itu sangat sepihak, tidak ada detilnya, atau ukuran menghambatnya apa? Kami mau klausul ini dihapuskan, posisinya jadi sangat tidak setara," kata Hendry kepada Kontan.co.id.
Sementara, selain para penyedia jasa tower, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang turut jadi kreditur juga menolak ketentuan ini. Kepala Subbagian Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Fauzan Priyadhani menyatakan, ketentuan tersebut bertentangan dengan UU 36/1999 Telekomunikasi.
Sebab dalam proses PKPU, tagihan Kominfo yang berasal dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) pita frekuensi hanya punya waktu 10 tahun. Sementara, izin frekuensi dimiliki Internux diberikan sejak 2009 dan akan berakhir 2019.
Sehingga, tak bisa serta merta dibatalkan, atau diperpanjang sepihak. Sebagaimana ditentukan dalam rencana perdamaian Internux, yang menyatakan serta merta meniadakan perjanjian dengan kreditur sebelumnya jika dinilai menghambat proses restrukturisasi.
"Jika homologasi, pada prinsipnya kami membuka opsi untuk mengajukan kasasi. Karena ketentuan rencana perdamaian bertentangan dengan UU 36/1999," katanya kepada KONTAN.
Nah, selain kritik dari kreditur, homologasi Internux terancam batal sebab, dalam sidang yang seharusnya membacakan putusan akhir PKPU pada Selasa (13/11) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengemuka kenyataan bahwa pengurus belum mendapatkan jaminan pembayaran atas imbalan jasanya.
"Pengajuan nilai yang kita ajukan bahkan tak sampai 1% dari nilai tagihan. Coba hitung 1% dari Rp 5,65 triliun saja kita harusnya bisa dapat Rp 56,95 miliar. Nilai yang kita ajukan jauh lebih kecil, tapi masih ditolak oleh debitur," kata Pengurus PKPU Internux Tommy Sugih kepada Kontan.co.id usai sidang.
Asal tahu, dalam Permenkumham 11/2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa dan Pengurus ditetapkan bahwa jika PKPU selesai dengan homologasi, pengurus bisa meminta imbalan maksimal hingga 6% dari nilai tagihan. Sementara jika PKPU berakhir kepailitan nilai maksimal yang bisa diajukan sebesar 8%.
Sementara dalam proses PKPU, Internux menanggung tagihan senilai Rp 4,695 triliun yang berasal dari dua kreditur separatis (dengan jaminan) sebesar Rp 226 miliar, dan 281 kreditur konkuren (tanpa jaminan) senilai Rp 4,469 triliun.
Sekadar informasi, mulanya daftar tagihan PKPU Internux mencapai Rp 5,659 triliun. Namun nilai menciut sebab Raiffeisen Bank AG International yang memegang taguhan separatis senilai Rp 48 miliar, dan konkuren senilai Rp 916 miliar memilih hengkang dari proses PKPU.
Sementara dalam voting rencana perdamaian Internux, hasilnya sebanyak 79,65% suara konkuren menyetujui perdamaian, dan 100% suara separatis bersuara sama. Nah, kembali soal imbalan jasa pengurus, dengan hasil voting yang menghendaki perdamaian pengurus sejatinya bisa meminta imbalan jasa hingga 6% dari total tagihan senilai Rp 4,695 triliun.
"Sekarang keputusan bukan di kita, ada di debitur, kalau besok tidak terjadi kesepakatan, putusan sudah tidak bisa ditunda lagi. Dan konsekuensinya debitur bisa dinyatakan pailit," sambung Tommy.
Sayangnya terkait potensi pailit ini, Kontan.co.id tak berhasil mendapatkan keterangan dari Internux. Kuasa Hukum Internux Sarmauli Simangunsong daru Kantor Hukum Nindyo & Associates enggan memberikan tanggapan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News