Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
"Monoisme sistem kepegawaian dengan alih status menjadi PNS". Itulah salah satu isi tulisan yang tertera dalam spanduk saat Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia (PPUI) menggelar unjuk rasa di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (2/5) kemarin.
Aksi turun ke jalan dengan menutup pintu masuk ke kampus ini menjadi kado istimewa Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Peristiwa di kampus ternama berkelas internasional ini menjadi sisi buram dari potret pendidikan nasional.
Ironi pendidikan tak hanya menelikung jenjang pendidikan menengah yang tecermin dari amburadulnya penyelenggaraan ujian nasional. Pun di level pendidikan tinggi sekelas UI,yang notabene merupakan barometer kampus berkualitas di tanah air, ternyata masih menyimpan benang kusut soal ketenagakerjaan.
Apa yang terjadi di kampus kuning itu sampai-sampai dosen, teknisi, bagian adminstrasi dan lainnya harus berunjuk rasa?
Sekretaris Jenderal PPUI M. Bijiyanto menuturkan, ketidakjelasan dalam sistem ketenagakerjaan menjadi pemicunya. Banyak pekerja UI yang resah karena statusnya tak jelas, meski sudah bekerja lebih dari 10 tahun. "Tidak ada kontrak kerja, tidak ada hak-hak normatif " ujarnya kepada KONTAN, kemarin.
Menurut Bijiyanto yang juga dosen sosiologi UI, polemik ini muncul akibat penerapan multisistem kepegawaian sebagai imbas dari perubahan status UI menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT- BHMN) pada tahun 2000 lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 152/2000. Keluarnya PP ini yang menjadikan babak baru status kerja dan karier pegawai non-PNS di UI semakin tidak jelas.
Sesuai perintah PP No. 152/2000, seluruh pekerja UI beralih menjadi pegawai universitas termasuk yang berstatus PNS. Namun, dalam praktiknya banyak pelanggaran. Mereka yang berstatus PNS tidak beralih menjadi pegawai universitas. "Sedangkan, yang berstatus honorer tak ada kontrak kerja," terang Bijiyanto.
Asal tahu saja, dari sekitar 12.000 pekerja di UI yang terdiri dosen dan tenaga kependidikan, sekitar 4.000 berstatus PNS, 500 berstatus sebagai pegawai universitas, dan sisanya 8.000 orang tidak jelas statusnya. "Tuntutan alih status ke PNS ini agar pekerja UI tak lagi bermacam-macam status, diskriminatif dan penetapannya tidak berdasar," tandas Bijiyanto.
Untuk itu, paguyuban meminta alih status ke PNS harus tegas. Maklum, saat ini terjadi perbedaan penafsiran pasal 220 A ayat (3) PP No. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.Dengan aturan ini, 4.000 pegawai dengan status PNS tidak ada masalah. Sisanya sekitar 8.000 masih terkatung–katung setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan peralihan status UI dari PT BHMN ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Paguyuban menafsirkan seharusnya semua pegawai universitas secara otomatis harus menjadi PNS. Yang terjadi sekarang, pegawai non PNS harus mengikuti seleksi pegawai baru atau jalur K2. Ada 2.300 pegawai yang akan mengikuti tes sebagai PNS, dan sisanya sekitar 5.700 pegawai tidak jelas statusnya.
Dari 5.700 pegawai ini bermacam-macam pekerjaannya, mulai dari dosen honorer satpam hingga petugas kebersihan kampus.
Huda, salah seorang pegawai UI yang sudah bekerja 19 tahun meminta pengalihan status pegawai UI menjadi PNS cukup lewat verifikasi administrasi (K1) bukan lewat tes yang belum ada jaminan bisa lolos.
Dari kasus UI ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar tidak main main dalam membuat kebijakan. Jangan sampai kemelut ketenagakerjaan di perguruan yang jadi barometer setanah air ini menggangu proses pendidikan dan mencoreng citra universitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News