kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kenaikan Utang Pemerintah Tak Sebanding Peningkatan Tax Ratio


Senin, 12 Februari 2024 / 06:04 WIB
Kenaikan Utang Pemerintah Tak Sebanding Peningkatan Tax Ratio
ILUSTRASI. Utangg pemerintah Petugas menghitung uang dolar AS. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat menilai bahwa peningkatan utang pemerintah tidak sebanding dengan pertumbuhan penerimaan negara dan rasio pajak alias tax ratio.

Wakil Rektor Universitas Paradamina Handi Risza mengatakan,tren pertumbuhan utang pemerintah pusat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tax ratio setiap tahunnya.

Bahkan dalam 10 tahun terakhir, kinerja tax ratio tidak mengalami peningkatan signifikan dan bahkan cenderung turun.

Baca Juga: Jokowi Diramal Tinggalkan Wariskan Utang Negara Mencapai Rp 10.000 Triliun

Oleh karena itu, meski pemerintah telah memberlakukan tax amnesty, namun upaya tersebut belum terlalu banyak berpengaruh terhadap peningkatan tax ratio.

"Tentu kemampuan utang ini juga harus dibarengi dengan kemampuan kita untuk mendapatkan atau untuk meningkatkan penerimaan negara kita. Idealnya begitu," kata Handi dalam Diskusi Publik, dikutip Minggu (11/2).

Handi menyebut, rasio utang terhadap Produk Domestik Buto (PDB) walaupun berfluktuasi namun trennya menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.

Sementara, tax ratio cenderung rendah dan menunjukkan penurunan.

Untuk itu, ketidakseimbangan antara pergerakan rasio utang dengan rasio pajak diperkirakan aka berdampak kepada beban utang yang harus dibayar oleh pemerintah.

Baca Juga: BI: Besarnya Cadangan Devisa Akan Sangat Mempengaruhi Daya Tahan Ekonomi

Di sisi lain, Handi menilai bahwa indikator pengelolaan utang juga telah melampaui batas yang diremondasikan. 

Misalnya saja kenaikan biaya utang utang (debt service ratio) pemerintah pusat yang lebih tinggi dibandingkan penerimaan negara.

Tercatat pada tahun 2020, rasio debt service to revenue pemerintah berada pada angka 42,7%, atau threshold lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh IMF dan IDR.

Begitu juga dengan tren kenaikan bunga utang (interest) yang juga lebih tinggi dibandingkan penerimaan.

Tercatat pada tahun 2020, rasio interest to revenue pemerintah sebesar 19,06%, atau lebih tinggi dari batas yang ditetapkan IMF sebesar 10% dan IDR sebesar 6,8%.

Baca Juga: Cadangan Devisa Indonesia Januari 2024 Turun karena Ada Utang Pemerintah Jatuh Tempo

"Jadi ini memang menjadi salah satu warning sangat rentan sekali seperti apa yang kita alami saat ini. Begitu pula dengan tren kenaikan biaya utang ini yang sering juga dikeluhkan oleh pengamat," katanya.

Tidak hanya itu, trend kenaikan utang (debt) pemerintah pusat juga lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan negara.

Sejak tahun 2014-2020, rasio debt to revenue terus berada dari batas yang ditetapkan oleh IMF dan IDR.

Misalnya saja pada tahun 2020, debt to revenue utang pemerintah pusat berada pada angka 369%, atau lebih tinggi dari threshold IMF sebesar 150% dan IDR sebesar 167%.

"Kenaikan utang kita ini sudah melampaui ambang batas sebetulnya, bahkan mencapai 400% kenaikan utang dalam 10 tahun terakhir," imbuh Handi.

Pasalnya, semakin tinggi debt to revenue, maka semakin tinggi pula porsi penerimaan negara yang dipergunakan untuk membayar utang.

Baca Juga: Perry Warjiyo: Bank Indonesia Tetap Akan Independen dengan Kebijakan Pro-Growth

"Bahkan ketika keseimbangan primer kita masih mengalami angka negatif sesungguhnya utang baru yang kita hasilkan itu digunakan untuk yang lama. Jadi seperti gali lobang tutup lobang," katanya.

Menurutnya, laporan ini sebenarnya sudah disampaikan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Sayangnya laporan ini sepertinya tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Kemudian, tren kesinambungan utang pemerintah pusat juga memperlihatkan kecenderungan yang meningkat cukup tajam.

Misalnya pada tahun 2020, kesinambangun utang berada pada angka 4,27, atau meningkat dari tahun 2019 yang hanya 0,59.

Berdasarkan ISSAI 5411 Debt Indicator, indikator kesinambungan di atas 0 menunjukkan bahwa kesinambungan fiskal di masa depan terancam sebagai dampak melebarnya keseimbangan primer.

"Artinya kesinambungan fiskal kita terancam, ruang fiskal kita semakin kecil untuk bisa melakukan akselerasi ataupun percepatan untuk proses pembangunan kita," terangnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa semakin timpang penambahan utang dibandingkan rasio pajak maka imbasnya akan memperlebat defisit anggaran yang hanya untuk membayar kewajiban bunga dan pokok utang.

Baca Juga: 29 Ekonom Beri Catatan Penting untuk Ekonomi Indonesia Jelang Pemilu 2024

"Situasi ini kemudian bisa menyebabkan chain reaction berupa kebutuhan utang baru yang lebih besar lagi. Sekarang realistis, warisan utang Jokowi tinggi sekali, kemudian masih ada program multiyears seperti IKN yang mau dilanjutkan," kata Bhima kepada Kontan.co.id,Minggu (11/2).

Menurutnya, kondisi tersebut akan membebani fiskal pemerintahan berikutnya.

Apalagi, tiap calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawaprs) memiliki program yang populis dan membutuhkan dana besar.

"Bisa jadi di tahun pertama lebih ke konsolidasi fiskal dulu, belum bisa jalankan program yang dikampanyekan. Baru ketika manajamen utangnya bisa dikendalikan,(penerimaan) pajak naik maka ada space untuk jalankan program," imbuh Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×