Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto
Sejak tahun 2014-2020, rasio debt to revenue terus berada dari batas yang ditetapkan oleh IMF dan IDR.
Misalnya saja pada tahun 2020, debt to revenue utang pemerintah pusat berada pada angka 369%, atau lebih tinggi dari threshold IMF sebesar 150% dan IDR sebesar 167%.
"Kenaikan utang kita ini sudah melampaui ambang batas sebetulnya, bahkan mencapai 400% kenaikan utang dalam 10 tahun terakhir," imbuh Handi.
Pasalnya, semakin tinggi debt to revenue, maka semakin tinggi pula porsi penerimaan negara yang dipergunakan untuk membayar utang.
Baca Juga: Perry Warjiyo: Bank Indonesia Tetap Akan Independen dengan Kebijakan Pro-Growth
"Bahkan ketika keseimbangan primer kita masih mengalami angka negatif sesungguhnya utang baru yang kita hasilkan itu digunakan untuk yang lama. Jadi seperti gali lobang tutup lobang," katanya.
Menurutnya, laporan ini sebenarnya sudah disampaikan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Sayangnya laporan ini sepertinya tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Kemudian, tren kesinambungan utang pemerintah pusat juga memperlihatkan kecenderungan yang meningkat cukup tajam.
Misalnya pada tahun 2020, kesinambangun utang berada pada angka 4,27, atau meningkat dari tahun 2019 yang hanya 0,59.
Berdasarkan ISSAI 5411 Debt Indicator, indikator kesinambungan di atas 0 menunjukkan bahwa kesinambungan fiskal di masa depan terancam sebagai dampak melebarnya keseimbangan primer.
"Artinya kesinambungan fiskal kita terancam, ruang fiskal kita semakin kecil untuk bisa melakukan akselerasi ataupun percepatan untuk proses pembangunan kita," terangnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa semakin timpang penambahan utang dibandingkan rasio pajak maka imbasnya akan memperlebat defisit anggaran yang hanya untuk membayar kewajiban bunga dan pokok utang.
Baca Juga: 29 Ekonom Beri Catatan Penting untuk Ekonomi Indonesia Jelang Pemilu 2024
"Situasi ini kemudian bisa menyebabkan chain reaction berupa kebutuhan utang baru yang lebih besar lagi. Sekarang realistis, warisan utang Jokowi tinggi sekali, kemudian masih ada program multiyears seperti IKN yang mau dilanjutkan," kata Bhima kepada Kontan.co.id,Minggu (11/2).
Menurutnya, kondisi tersebut akan membebani fiskal pemerintahan berikutnya.
Apalagi, tiap calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawaprs) memiliki program yang populis dan membutuhkan dana besar.
"Bisa jadi di tahun pertama lebih ke konsolidasi fiskal dulu, belum bisa jalankan program yang dikampanyekan. Baru ketika manajamen utangnya bisa dikendalikan,(penerimaan) pajak naik maka ada space untuk jalankan program," imbuh Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News