Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Lembaga Riset The PRAKARSA menilai Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di awal tahun 2025 yang dilansir pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak, di tengah kondisi penurunan daya beli masyarakat merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Pasalnya, upaya pemerintah menaikkan PPN pada tahun 2022 silam nyatanya belum mampu untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak secara signifikan. Rendahnya penerimaan pajak di Indonesia bukan saja karena rendahnya tarif, namun juga akibat rendahnya kepatuhan dan penegakan hukum.
Buktinya, sejak pemerintah menaikkan tarif PPN pada 2022, kinerja perpajakan tak kunjung membaik. Rasio perpajakan terhadap PDB Indonesia di tahun 2023 justru menurun dari 10,39% di tahun 2022 menjadi 10,21% di tahun 2023.
Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap bahwa tax ratio Indonesia masih di level 10,02% hingga Oktober 2024. Kinerja penerimaan pajak Indonesia juga masih jauh tertinggal dibandingkan negara berkembang lain. Tahun 2022, rata-rata rasio pajak di kawasan Asia tenggara sebesar 14,8% dan di kawasan Asia Pasifik sebesar 19,3%.
Baca Juga: PPN Bakal Naik jadi 12% Tahun Depan, APINDO Minta Pemerintah Kaji Ulang
Hasil kajian World Bank menunjukkan bahwa kenaikan PPN tidak banyak berdampak pada kenaikan penerimaan negara, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.
Realisasi tambahan penerimaan pajak dari kenaikan tarif PPN hanya sebesar 0,3% PDB pada 2022 dan 0,4% PDB pada 2023. Salah satu hambatan utama dalam optimalisasi penerimaan PPN adalah inefisiensi dalam sistem pengumpulan pajak.
C-efficiency ratio PPN Indonesia tercatat hanya 0,53, lebih rendah 0,17 poin dibandingkan rata-rata negara-negara tetangga. Rendahnya rasio ini menunjukkan masih tingginya potensi penerimaan pajak yang hilang.
Peneliti The PRAKARSA, Samira Hanim menilai bahwa kenaikan PPN 12% ini justru menyalahi asas keadilan pajak itu sendiri.
“Pengenaan PPN yang bersifat objektif, tidak memandang siapa yang dikenakan justru menyalahi asas keadilan tersebut. Orang kaya akan mengeluarkan nominal pajak yang sama dengan orang miskin ketika dihadapkan pada pembelian suatu barang dan jasa kena pajak.” ujar Samira dalam keterangan resminya, Senin (25/11).
Baca Juga: PPN 12% akan Berlaku Tahun Depan, Begini Tanggapan Intiland Development (DILD)
Menurutnya kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan negara ini semakin memberatkan kelas menengah dan kecil.
"Kebijakan untuk terus melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12% di tengah menurunnya daya beli masyarakat ini rasanya tidak tepat, deflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan lingkaran deflasi di mana konsumsi menurun, pertumbuhan melemah, dan tekanan harga semakin besar, kenaikan PPN hanya akan memperparah kondisi ini," katanya.
Mengingat pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga alat redistribusi kekayaan, pemerintah perlu meningkatkan pajak progresif yang menargetkan individu super kaya atau Ultra High-Net-Worth Individuals (UHNWI).
Langkah ini sejalan dengan komitmen negara-negara G20 untuk memastikan UHNWI membayar pajak secara adil dan efektif, sebagaimana tertuang dalam G20 Rio de Janeiro Leaders’ Declaration.
Di Indonesia, jumlah UHNWI terus meningkat dan mereka malah mendapatkan banyak keringanan pajak. The Wealth Report 2024 memproyeksikan pertumbuhan sebesar 34,1%, dari 1.479 individu pada 2023 menjadi 1.984 individu pada 2028.
Tren ini diperkuat oleh struktur pajak yang lebih menguntungkan pendapatan dari modal seperti keuntungan modal (capital gains) dan dividen, yang umumnya dikenakan tarif pajak lebih rendah dibandingkan penghasilan kerja.
Di Indonesia, pendapatan kerja (income) atau PPh (Pajak Penghasilan) dikenakan pajak progresif hingga 35%, sedangkan pendapatan pasif seperti dividen atau keuntungan modal hanya dikenakan tarif hingga 25%.
Baca Juga: Kembalikan Tarif PPh Badan Jadi 25% Dinilai Jadi Solusi di Tengah Kisruh PPN 12%
Selain tarif pajak yang lebih rendah atas pendapatan pasif yang mendominasi kekayaan individu superkaya, mereka juga memanfaatkan strategi penghindaran pajak seperti menunda realisasi keuntungan modal, tidak membagikan dividen, atau menggunakan perusahaan holding untuk mengalihkan keuntungan.
Implikasinya, orang superkaya membayar pajak dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah dan bawah yang mengandalkan pendapatan aktif yang terus tergerus baik dari PPN maupun PPh.
Peneliti The PRAKARSA, Farhan Medio mengatakan, kebijakan kenaikan tarif PPN bersifat regresif, di mana kelompok termiskin harus menanggung dampak yang lebih signifikan dibandingkan kelompok kaya.
"Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi," tandas Farhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News