Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menaikkan kembali tarif pajak pertambahan nilai (PPh) badan menjadi 25% dinilai menjadi solusi, di tengah kekisruhan kebijakan tarif pajak pertambahan nilai menjadi 12% pada 1 Januari 2025 mendatang.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, fenomena penurunan tarif PPh badan akibat kompetisi pajak atau fenomena race-to-the-bottom akan berakhir ketika ada konsensus atas pajak minimum global.
Bila mengacu pada laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) berjudul Tax Policy Reform 2024 disebutkan, tren penurunan tarif PPh badan yang berlangsung dalam dua dekade terakhir sudah berhenti pada 2023.
Baca Juga: KIP Minta Kemenkeu Transparansi Soal Penetapan Tarif PPN 12% di 2025
Semenjak 2023, lebih banyak negara yang justru menaikkan tarif PPh badan dibandingkan yang menurunkan.
Menurutnya hal tersebut bisa dicontoh oleh Indonesia. Sebagaimana diketahui, tarif PPh badan saat ini sebesar 22%, setelah sebelumnya diturunkan dari 25% pada 2020 lalu. Bahkan, sebelumnya beredar kabar juga Presiden Prabowo Subianto berencana akan menurunkan kembali tarif PPh badan menjadi 20%.
Melihat tren penurunan tarif PPh badan di banyak negara, “Sebenarnya ini bisa menjadi solusi kekisruhan isu kenaikan tarif PPN. Kembalikan saja tarif PPh badan dan batalkan kenaikan tarif PPN. Selesai itu masalah,” tutur Fajry kepada Kontan, Senin (25/11).
Memang sejatinya pemerintah menginginkan banyak investasi yang masuk dengan tarif PPh badan yang lebih rendah. Akan tetapi, Fajry menilai, meski tarif PPh badan turun, investasi yang masuk akan tetap kalah dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Justru kata dia, dengan meningkatkan PPN menjadi 12% dampaknya akan terasa pada saya beli masyarakat.
Baca Juga: Komisi Informasi Pusat Risau Tax Amnesty Jilid III Bikin Orang Ogah Bayar Pajak
Sebelumnya, Wakil Kepala LPEM FEB UI Bidang Penelitian Jahen F. Rezki menyampaikan, hasil analisanya menunjukkan kenaikan tarif PPN justru menghantam daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Jahen membandingkan antara tahun 2022-2023 dengan 2020-2021, kenaikan PPN dari 10% jadi 11%, menambah beban rumah tangga miskin 20% terbawah dengan beban kenaikan sebesar 0,71%.
Sementara itu, dampak kenaikan tarif PPN menjadi 11% tersebut kepada 20% rumah tangga kaya, hanya menambah beban kenaikan sebesar 0,55%.
“Kelompok miskin dengan adanya kenaikan PPN akan berdampak sebesar 4,79% dari pengeluaran mereka,” tutur Jahen kepada Kontan, Senin (18/11).
Artinya bila konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah menurun, maka tingkat kemiskinan akan ikut meningkat.
Selanjutnya: SUCOFINDO Dampingi BPJPH Sertifikasi Perusahaan Logistik, Dukung Ekosistem Halal
Menarik Dibaca: Diet Bukan Sekedar Untuk Turunkan Berat Badan, Mana Diet yang Cocok?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News