Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berkomitmen menyelesaikan konflik pertanahan.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik, Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Kementerian ATR/BPN, Daniel Adityajaya, mengatakan, ke depan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria sesuai dengan arahan presiden yang mengimbau untuk menemukan penyelesaian yang sistemik untuk konflik agraria.
Pertama pemerintah harus membuat regulasi yang implementatif terhadap isu lapangan yang melibatkan non goverment organization dalam penyusunannya. Seperti peraturan pemerintah tentang redistribusi tanah dan penyelesaian konflik lintas sektor dengan instrumen geraknya adalah Gugus Tugas Reforma Agraria.
Hal lain yang dilakukan dalam penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria adalah membuat jadwal per kuartal untuk kasus konflik dan lokasi redistribusi berdasarkan indikator prioritas kesulitan dan kemungkinan penerapannya.
Baca Juga: Jokowi lakukan redistribusi aset untuk cegah sengketa tanah
Pemerintah juga harus menentukan timeline eksekusi di lapangan. Khususnya lokasi prioritas pelaksanaan reforma agraria dan perubahan kebijakan yang jelas tentu disertai dengan pelaporan periodik per kuartal.
"Untuk saat ini kita telah menargetkan 50% konflik (pertanahan) untuk diselesaikan pada tahun 2021," kata Daniel dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Minggu (24/1).
Daniel menyebut, faktor terpenting dalam penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria adalah dengan kerja sama antar pemangku kepentingan. Ia bilang, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan melakukan rapat maraton bersama kementerian atau lembaga terkait konflik.
"Dengan kerja bersama dan dukungan dari para pemangku kepentingan, seperti Kejaksaan dan Polri juga penting karena kita juga perlu mendapatkan perlindungan untuk pelaksanaan di lapangan," ucap dia.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), A. Fatoni menjelaskan, terdapat delapan faktor pemicu konflik pertanahan.
Baca Juga: Kementerian ATR/BPN siapkan strategi tangani konflik agraria
Beberapa pemicu terjadinya konflik pertanahan yaitu penguasaan dan pemilikan tanah aset BUMN dan tanah di kawasan hutan, penetapan hak atas tanah, batas dan letak bidang tanah, pengadaan tanah, tanah objek land reform, tuntutan ganti rugi tanah partikelir, tanah ulayat atau masyarakat hukum adat dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Lebih lanjut A. Fatoni mengatakan, secara konsisten Kemendagri berkomitmen mendukung penyelesaian permasalahan di bidang pertanahan melalui kebijakan fasilitasi dan koordinasi.
Baca Juga: Ini 3 jurus BPN mengatasi konflik agraria
"Kemendagri sebagai fasilitator dan koordinator mendukung pemerintah daerah agar mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik," ujar Fatoni.
Sebagai informasi, dalam pemberitaan Kontan sebelumnya, diketahui masih terdapat 1.201 kasus sengketa pertanahan yang masih dalam proses penanganan Kementerian ATR/BPN.
Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN menyebutkan, ada sebanyak 3.230 kasus sengketa pertanahan yang berhasil ditangani sepanjang tahun 2019.
Selanjutnya: Walhi: Industri tambang Indonesia belum mampu mematuhi kaidah lingkungan dengan baik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News