Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan rencana pembukaan 20,6 juta hektar lahan untuk proyek ketahanan pangan tidak akan dilakukan sekaligus namun bertahap sesuai dengan kebutuhan.
Penasehat Senior Tim Kerja Indonesia's Folu Net Sink 2030, Kemenhut, Ruandha Sugardiman menjelaskan nantinya hutan yang akan dimanfaatkan untuk lahan pangan merupakan hutan non produktif.
"Program 20 juta ha juga bukan langsung, tapi bertahap, misalnya tahun ini hanya perlu 5 ribu hektar saja ya itu dulu jadi nggak langsung semuanya," kata Ruandha di Kantor Kemenhut, Jum'at (16/5).
Baca Juga: Kemenhut - TNI Teken Nota Kesepahaman untuk Menjaga Hutan, Ini Poin-Poinnya
Ruandha memastikan hutan primer tidak akan ada alih fungsi baik untuk pangan maupun energi. Dia tegaskan, beberapa lahan yang digunakan merupakan hutan skunder yang terdiri dari semak selukar ataupun beberapa lokasi hutan yang memang lahan kosong.
"Hutan tidak produktif itu potensinya 5-10 meter kubik per ha. Jadi masih ada hutan tapi hutan skunder ada semak belukar ada beberapa tmpat yang memang itu adalah tanah kosong yang bisa dimanfaatkan," ungkapnya.
Kalau pun akan membuka lahan baru dari hutan produktif, menurutnya, pembatatan dilakukan tidak lebih dari 5% dari total hutan produktif yang ada di Indonesia.
Pemerintah memastikan akan melakukan kajian mendalam yang dilakukan tim analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang terjadi.
Selain itu, pemerintah berkomitemn melakukan net zero deforestasi. Sehingga saat ada pembukaan hutan untuk lahan pangan, maka ada kompensasi untuk melakukan penanam kembali di lahan hutan lain.
"Jadi kalau kita buka disini harus ada kompensasi menaman di lain," ungkapnya.
Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi akan menjadi proyek legalisasi deforestasi terbesar dalam sejarah Indonesia.
"Jika seluas 4,5 juta hektar saja hutan alam dibuka, akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon, maka dapat diakumulasi berapa besaran emisi yang akan dilepaskan dari 20 juta hektar hutan yang akan dibuka," kata Walhi dalam keterangan resminya dikutip Jum'at (16/5).
Menurut WALHI, rencana ini bertentangan dengan komitmen global Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi melalui skema Nationally Determined Contributions (NDC), serta pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Selain itu, rencana ini juga bertolak belakang dengan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri terkait FoLU Net Sink 2030, yang seharusnya menargetkan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan lahan.
Baca Juga: Prabowo Berencana Perluas Lahan Sawit, Walhi: Perpanjang Konflik di Sektor Sawit
Selain itu, rencana ini akan meningkatkan eskalasi konflik dan bencana ekologis di Indonesia.
Walhi menyebut, selama ini rakyat terus menjadi korban kriminalisasi saat konflik agraria berlangsung. Dalam konteks bencana, sejak 2015 hingga 2022 negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 101,2 triliun dari kejadian bencana hidrometereologi yang diakibatkan perubahan landscape ekosistem penting seperti hutan. Negara juga akan mengalami kerugian sebesar Rp 3.000 triliun dari tegakan pohon yang hilang dari pembukaan 20 juta hektar hutan.
Rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi ini juga berisiko menimbulkan pelanggaran HAM berat berupa penyingkiran secara paksa masyarakat lokal/adat (eksklusi). Apalagi jika kedepan rencana ini dilekatkan status Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa pola pengambilan kebijakan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak awal telah mengabaikan hak atas informasi dan partisipasi masyarakat lokal/adat sebagai hak atas pembangunan yang paling mendasar," jelasnya.
Baca Juga: Kemenhut: Ada 436 Perusahaan yang Punya Kebun Sawit Tanpa Izin di Kawasan Hutan
Selanjutnya: 15 Link Poster Hari Kebangkitan Nasional 2025 Unik Cocok Untuk Media Sosial
Menarik Dibaca: WRI: Emisi Fosil Pangkas Durasi Jam Kerja hingga 20%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News