Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba menyinggung kembali wacana lama pemindahan ibu kota dari Jakarta. Para pengamat menilai lontaran Presiden ini merupakan sikap reaktif saja, alih-alih memunculkan wacana lama yang sudah digarap lebih baik.
"Berkunjung ke Astana, lalu memberikan perhatian (soal wacana pemindahan ibu kota). Padahal secara substansi tidak ada kemajuan, hanya mengulang ide-ide lama yang masih terbatas itu," ujar Pengamat Kebijakan Publik Andrianof Chaniago ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (12/9/2013).
Lontaran Presiden yang tiba-tiba bicara lagi soal wacana pemindahan ibu kota, memang disampaikan setelah kunjungan kenegaraan ke Kazahtan. Astana merupakan ibu kota baru negara di Asia Tengah tersebut sejak 1997.
Beberapa tahun lalu, kata Andrinof, Presiden juga sudah pernah memunculkan wacana pemindahan ibu kota, sebagai bagian dari "keprihatinan" atas kondisi Jakarta. Saat itu, ada tiga alternatif yang disebut Presiden, yakni pembenahan sarana dan prasarana transportasi di Jakarta, pemisahan pusat pemerintahan dan ekonomi, atau pemindahan ibu kota secara menyeluruh ke tempat baru.
Namun, kecam Andrinof, tak pernah ada tindak lanjut dari ketiga opsi yang disebut Presiden itu sampai kunjungan ke Astana. "Menunjukan SBY adalah orang yang hanya reaktif, tapi tidak pernah menindaklanjuti sesuatu ide yang penting dan serius," kata dia.
Pendapat senada disampaikan oleh Agus Pambagyo, juga pengamat kebijakan publik. Menurut Agus, sejak berakhirnya era Soekarno sampai sekarang, pemindahan ibu kota hanya sebatas wacana. "Pindah kemana? Palangkaraya? Kalau sekedar wacana tidak perlu dibahas," ujarnya.
Dimuat dalam situs www.presidenri.go.id, SBY mengaku menyaksikan sebuah kota yang ideal saat berkunjung ke Astana. Dia melihat suasana kota yang sangat khas dengan arsitektur yang luar biasa, teratur, dan desain yang bagus.
Terlepas dari sikap Presiden yang dinilai hanya reaktif, baik Andrinof maupun Agus berpendapat pemisahan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi memang sangat baik untuk dilakukan. Sebisa mungkin, menurut mereka, harus dilakukan.
Agus mengatakan selama anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) memadai dan negara sanggup membiayai pemindahan ibu kota, pemindahan ibu kota harus dilakukan. Dia berpendapat pemindahan ibu kota akan mendorong pemerataan pembangunan dan penduduk. "Bangun infrastrukturnya, masyarakat akan pindah mengejar 'gula' yang diciptakan," papar dia.
Sementara Andrianof menilai, pemisahan ataupun pemindahan ibu kota memang membutuhkan biaya yang besar. Namun tidak memisahkan ataupun memindahkan ibu kota, yaitu dengan tetap membiarkan Jakarta seperti saat ini juga akan memberikan kerugian yang besar. "Kesesakan yang kemudian menimbulkan dampak-dampak yang lain, kemacetan, kekumuhan dan keterbatasan sumber air," kata dia.
Masih dari situs kepresidenan, SBY mengaku telah lama memikirkan wacana pemisahan ibu kota, setidaknya dalam empat atau lima tahun terakhir. Presiden pun menyebutkan beberapa negara yang menurutnya sukses memisahkan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi.
Pemindahan ibu kota menurut Presiden akan memberikan dampak positif dan negatif, tetapi Presiden berkeyakinan Jakarta akan menjadi kota yang lebih baik. Bila ibu kota dipindah, kata Presiden, Jakarta akan tetap berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan. (Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News