kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan rokok murah berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 2,6 triliun


Kamis, 18 Juni 2020 / 21:58 WIB
Kebijakan rokok murah berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 2,6 triliun
ILUSTRASI. Rokok. WHO/FCTC REUTERS/Thomas White/Illustration TPX IMAGES OF THE DAY


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jumlah perokok aktif di Indonesia pada tahun 2025 mendatang akan mencapai 96,5 juta orang. Hal ini bisa terjadi kalau pengendalian rokok domestik masih lemah. Harga rokok di Indonesia yang murah serta mudah dibeli juga membuat anak-anak dan remaja rentan menjadi perokok aktif.

Emerson Yuntho, Peneliti Kebijakan Publik dan Pegiat Antikorupsi mendesak Kementerian Keuangan untuk mencabut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017 yang memperbolehkan pabrikan mematok harga transaksi pasar (HTP) atau harga di tingkat konsumen akhir rokok di bawah 85% dari harga jual eceran atau harga banderol, asalkan dilakukan tidak lebih di 50% wilayah supervisi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Baca Juga: BI catat secara tahunan indeks harga konsumen (IHK) Mei 2020 sebesar 2,19%

Kebijakan ini menurutnya berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan. Potensi kehilangan PPh badan diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai beserta HJE rokok. Berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 mencapai Rp 2,6 triliun.

"Ini sangat ironis di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara yang sedang membutuhkan banyak biaya,” ujarnya dalam diskusi virtual Indonesia Budget Center, Jakarta, Kamis (18/6).

Potensi kehilangan PPh badan diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019. Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp 1,73 triliun.

Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1% HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, potensi kehilangan penerimaan negara tersebut akan naik menjadi Rp 2,6 triliun.

Baca Juga: Posisi utang pemerintah per akhir Mei 2020 mencapai Rp 5.258,57 triliun

Selain potensi kehilangan PPh badan, keberadaan diskon rokok atau rokok murah akibat klausul dalam Perdirjen Bea Cukai juga mendorong peningkatan tingkat konsumsi rokok terutama oleh anak dan kemiskinan. Padahal, sampai saat ini publik tidak pernah mengetahui naskah akademik yang menjadi dasar kebijakan tersebut. Oleh karenanya, muncul persepsi publik bahwa kebijakan diskon rokok merupakan bagian kompromi pemerintah dengan industri rokok.

Oleh karena itu, dirinya merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian, rekomendasi dan pendampingan kepada pemerintah agar menghapus berbagai kebijakan yang berpotensi melahirkan celah kerugian negara.

Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal. Dia mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.

“Kebijakan ini membuat kas negara tidak optimal di saat pemerintah tengah mengejar penerimaan cukai yang lebih besar dari rokok,” katanya.

Baca Juga: Pelunasan pita cukai rokok memoles realisasi penerimaan cukai hingga Mei

Sejauh ini, cukai rokok masih menjadi anak emas pendapatan negara bahkan di tengah kondisi krisis dan negara yang membutuhkan dana segar sehingga peninjauan ulang kebijakan diskon rokok akan mengoptimalisasi penerimaan cukai rokok.

Selain itu, selama ini pelaku praktik diskon rokok biasanya berasal dari perusahaan-perusahaan yang tingkat persaingannya besar. Jika pemerintah masih terus melegalkan sistem potongan harga ini, potensi kehilangan penerimaan negara akan makin tinggi.

Itulah sebabnya dia menilai bahwa penggolongan kluster usaha pada industri rokok harus menjadi pertimbangan agar usaha kecil dan usaha menengah tidak mati karena harus menghadapi perusahaan besar. “Golongan kecil ini kan jalurnya sempit dan lama-lama bisa rugi ya, kita harus melihat celah ini dalam aturan tersebut,” lanjutnya.

Sementara itu, Pande Putu Oka Kusumawardani, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85% dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

Baca Juga: Rilis produk SKT Minak Djinggo baru, Nojorono pastikan serap banyak pekerja

“Sebenarnya kita perlu meluruskan bahwa diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah HJE,” kata Pande.

Ketika disinggung mengenai dasar toleransi 50% area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017, Ia menuturkan bahwa semua masukan tentunya akan ditinjau apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau masih memerlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×