kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan rokok murah berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 2,6 triliun


Kamis, 18 Juni 2020 / 21:58 WIB
Kebijakan rokok murah berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 2,6 triliun
ILUSTRASI. Rokok. WHO/FCTC REUTERS/Thomas White/Illustration TPX IMAGES OF THE DAY


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Handoyo .

“Kebijakan ini membuat kas negara tidak optimal di saat pemerintah tengah mengejar penerimaan cukai yang lebih besar dari rokok,” katanya.

Baca Juga: Pelunasan pita cukai rokok memoles realisasi penerimaan cukai hingga Mei

Sejauh ini, cukai rokok masih menjadi anak emas pendapatan negara bahkan di tengah kondisi krisis dan negara yang membutuhkan dana segar sehingga peninjauan ulang kebijakan diskon rokok akan mengoptimalisasi penerimaan cukai rokok.

Selain itu, selama ini pelaku praktik diskon rokok biasanya berasal dari perusahaan-perusahaan yang tingkat persaingannya besar. Jika pemerintah masih terus melegalkan sistem potongan harga ini, potensi kehilangan penerimaan negara akan makin tinggi.

Itulah sebabnya dia menilai bahwa penggolongan kluster usaha pada industri rokok harus menjadi pertimbangan agar usaha kecil dan usaha menengah tidak mati karena harus menghadapi perusahaan besar. “Golongan kecil ini kan jalurnya sempit dan lama-lama bisa rugi ya, kita harus melihat celah ini dalam aturan tersebut,” lanjutnya.

Sementara itu, Pande Putu Oka Kusumawardani, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85% dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

Baca Juga: Rilis produk SKT Minak Djinggo baru, Nojorono pastikan serap banyak pekerja

“Sebenarnya kita perlu meluruskan bahwa diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah HJE,” kata Pande.

Ketika disinggung mengenai dasar toleransi 50% area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017, Ia menuturkan bahwa semua masukan tentunya akan ditinjau apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau masih memerlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×