Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jumlah perokok aktif di Indonesia pada tahun 2025 mendatang akan mencapai 96,5 juta orang. Hal ini bisa terjadi kalau pengendalian rokok domestik masih lemah. Harga rokok di Indonesia yang murah serta mudah dibeli juga membuat anak-anak dan remaja rentan menjadi perokok aktif.
Emerson Yuntho, Peneliti Kebijakan Publik dan Pegiat Antikorupsi mendesak Kementerian Keuangan untuk mencabut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017 yang memperbolehkan pabrikan mematok harga transaksi pasar (HTP) atau harga di tingkat konsumen akhir rokok di bawah 85% dari harga jual eceran atau harga banderol, asalkan dilakukan tidak lebih di 50% wilayah supervisi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Baca Juga: BI catat secara tahunan indeks harga konsumen (IHK) Mei 2020 sebesar 2,19%
Kebijakan ini menurutnya berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan. Potensi kehilangan PPh badan diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai beserta HJE rokok. Berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 mencapai Rp 2,6 triliun.
"Ini sangat ironis di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara yang sedang membutuhkan banyak biaya,” ujarnya dalam diskusi virtual Indonesia Budget Center, Jakarta, Kamis (18/6).
Potensi kehilangan PPh badan diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019. Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp 1,73 triliun.
Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1% HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, potensi kehilangan penerimaan negara tersebut akan naik menjadi Rp 2,6 triliun.
Baca Juga: Posisi utang pemerintah per akhir Mei 2020 mencapai Rp 5.258,57 triliun
Selain potensi kehilangan PPh badan, keberadaan diskon rokok atau rokok murah akibat klausul dalam Perdirjen Bea Cukai juga mendorong peningkatan tingkat konsumsi rokok terutama oleh anak dan kemiskinan. Padahal, sampai saat ini publik tidak pernah mengetahui naskah akademik yang menjadi dasar kebijakan tersebut. Oleh karenanya, muncul persepsi publik bahwa kebijakan diskon rokok merupakan bagian kompromi pemerintah dengan industri rokok.
Oleh karena itu, dirinya merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian, rekomendasi dan pendampingan kepada pemerintah agar menghapus berbagai kebijakan yang berpotensi melahirkan celah kerugian negara.
Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal. Dia mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.