kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan penerapan sertifikat elektronik dinilai belum mendesak


Jumat, 05 Februari 2021 / 05:35 WIB
Kebijakan penerapan sertifikat elektronik dinilai belum mendesak


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Himawan Arief Sugoto mengatakan, penerapan sertifikat elektronik nantinya akan mampu menekan atau meminimalisir praktik-praktik mafia tanah.

“Celah-celah oknum yang ingin bermain di masalah pertanahan atau mafia tanah ini ruangnya pintunya akan semakin kita tutup,” kata Himawan dalam diskusi virtual, Kamis (4/2).

Ia mengatakan, sertifikat yang telah dialih bentuk menjadi sertifikat elektronik tidak dapat dipalsukan atau terkait sengketa pertanahan. Sebab, kepemilikan sertifikat itu sudah jelas dan telah sesuai dengan data kepemilikan yang aslinya.

Keuntungan lainnya, jika sertifikat fisik pemilik karena faktor seperti kebakaran, hanyut terbawa banjir dan kasus lainnya menyebabkan hilang, maka pemilik tidak perlu khawatir karena telah memiliki sertifikat dalam bentuk elektronik.

“Kita akan membangun security sistemnya akan terjaga. Kalau sertifikat elektronik bisa dibuktikan, tidak ada lagi hilang. Kalau sertifikat itu hilang mudah di print out lagi,” ujar dia.

Baca Juga: Ini penjelasan lengkap rencana pengambilan sertifikat tanah oleh BPN

Lebih lanjut, Himawan menyebut, alasan kenapa penerapan sertifikat elektronik harus dimulai saat ini. Sebab sistem data digital adalah sebuah keniscayaan. Terlebih saat ini sebagian masyarakat telah melakukan berbagai transaksi secara digital.

“Kalau nanti terlambat, pendafataran tanah (seluruh bidang tanah) saja ditergetken 2025 selesai, terus (baru) digitalisasi, too late (sangat terlambat). Makanya kita kenalkan dulu tahapan demi tahapan, instansi demi instansi yang mungkin lebih mudah diedukasi,” ungkap dia.

Kementerian ATR/BPN menganalogikan, sistem sertifikat elektronik yang akan diterapkan seperti kepemilikan ATM bank seseorang. Yakni hanya orang tersebut yang tahu dan bisa login untuk mengakses sertifikat elektronik miliknya dalam sistem digital.

“Kalau menghitung efisiensi tidak bisa hanya sekadar jumlah nilai blanko dengan sertifikat elektronik nya, tetapi kita lihat manfaat benefit yang lebih luas. Benefit yang lebih luas kemudahan bertransaksi, kemudahan pelayanan itu kalau dinilai akan membuat suatu perputaran ekonomi yang jauh lebih cepat,” ujar Himawan.

Semengara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, dari sisi prioritas, langkah tersebut belum dibutuhkan.

Baca Juga: ​Inilah bentuk sertifikat tanah elektronik jika BPN tarik sertifikat tanah asli

“Bukan hal urgent dan prioritas. Sebab pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan,” kata Dewi.

KPA meminta, seharusnya konsentrasi dana APBN dan kerja kementerian diarahkan kepada usaha-usaha pendaftaran seluruh tanah di Indonesia, tanpa kecuali. Baik tanah kawasan hutan maupun tanah non kawasan hutan.

Dengan usaha ini, terangkum basis data pertanahan yang lengkap sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional dan sebagai basis pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya Land Reform.

Langkah pensertifikatan atau legalisasi tanah dan digitalisasinya harusnya menjadi langkah terakhir. Setelah mandat pokok UUPA agar Negara melakukan pendaftaran tanah secara nasional dan sistematis sejak tingkat desa dijalankan terlebih dahulu. “Inilah prioritas yang selalu diabaikan sejak lama,” ujar dia.

Dari sisi proses, implementasi digitalisasi ini akan dimulai dari tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik. Lalu bisa diprint dimana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.

Titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha? Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut. S

ebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut banyak yang bermasalah. Misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung.

Baca Juga: Saat terjadi transaksi properti, barulah sertifikat fisik berganti elektronik

KPA menilai, proses tersebut juga rentan bagi rakyat, banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat, yang seharusnya justru dituntaskan lebih dahulu konfliknya, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha.

“Dengan proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara,” ungkap dia.

Dari sisi hukum, rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus dengan demikian. Hal lainnya, sertifikat elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja, dan tujuan memudahkan data base tanah di kementerian.

“Jadi digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli,” ucap dia.

KPA menyebut, penerbitan Permen terkait sertifikat elektronik ini juga melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni PP 24/1997 terkait Pendaftaran Tanah, PP 40/1996 terkait HGU, HGB dan Hak Pakai, serta UU No.5/19960 terkait UU Pokok Agraria.

Kemudian, dari sisi keamanan, sistem IT yang dikelola BPN belum benar-benar aman. Aspek security dan reformasi birokrasi pertanahan yang belum terjamin berpotensi menghilangkan data-data rakyat pemilik tanah. Sistem digitalisasi dengan tingkat keamanan yang masih meragukan ini, dan tanpa reformasi birokrasi sangat rentan disalahgunakan, bahkan dibajak.

Baca Juga: Pemerintah akan Menerapkan Sertifikat Elektronik Pertanahan demi Mengerak EODB

KPA mengatakan, dari sisi pengguna (benefieries), sistem digitalisasi hanya akan ramah terhadap masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas, dimana akses teknologi dan infrastrukturnya sudah terbangun. Sebaliknya, banyak warga miskin di perkotaan, di perkampungan, pedesaan dan masyarakatnya akan tertinggal dalam proses yang hanya mengedepankan aspek teknologi tanpa pengakuan hak atas tanah dan reform terlebih dahulu.

“Remote areas ini, dimana bahkan fasilitas sekolah dan kesehatan yang memadai saja masih sulit dijangkau. Apalagi di area-area konflik agraria, dimana tidak tersentuh dukungan pemerintah dan pembangunan, sebab klaim konsesi masih bercokol,” ujar dia.

Selain itu, dari sisi orientasi politik agraria, khususnya pertanahan, prioritas kerja pada sertifikasi tanah termasuk digitalisasinya menunjukkan bahwa sistem pertanahan makin diorientasikan untuk kepentingan liberalisasi pasar tanah di Indonesia.

Sebab, sertifikasi tanah (hak milik, HGU, HGB, HP, dll.) tanpa didahului land reform dan Reforma Agraria hanya akan melegitimasi monopoli tanah oleh badan usaha skala besar. “Hanya mempermudah transaksi jual beli tanah bagi para pemilik modal,” tutur Dewi.

Selanjutnya: Pemerintah akan Menerapkan Sertifikat Elektronik Pertanahan demi Mengerak EODB

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×