Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
Langkah pensertifikatan atau legalisasi tanah dan digitalisasinya harusnya menjadi langkah terakhir. Setelah mandat pokok UUPA agar Negara melakukan pendaftaran tanah secara nasional dan sistematis sejak tingkat desa dijalankan terlebih dahulu. “Inilah prioritas yang selalu diabaikan sejak lama,” ujar dia.
Dari sisi proses, implementasi digitalisasi ini akan dimulai dari tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik. Lalu bisa diprint dimana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.
Titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha? Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut. S
ebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut banyak yang bermasalah. Misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung.
Baca Juga: Saat terjadi transaksi properti, barulah sertifikat fisik berganti elektronik
KPA menilai, proses tersebut juga rentan bagi rakyat, banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat, yang seharusnya justru dituntaskan lebih dahulu konfliknya, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha.
“Dengan proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara,” ungkap dia.
Dari sisi hukum, rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus dengan demikian. Hal lainnya, sertifikat elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja, dan tujuan memudahkan data base tanah di kementerian.
“Jadi digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli,” ucap dia.
KPA menyebut, penerbitan Permen terkait sertifikat elektronik ini juga melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni PP 24/1997 terkait Pendaftaran Tanah, PP 40/1996 terkait HGU, HGB dan Hak Pakai, serta UU No.5/19960 terkait UU Pokok Agraria.
Kemudian, dari sisi keamanan, sistem IT yang dikelola BPN belum benar-benar aman. Aspek security dan reformasi birokrasi pertanahan yang belum terjamin berpotensi menghilangkan data-data rakyat pemilik tanah. Sistem digitalisasi dengan tingkat keamanan yang masih meragukan ini, dan tanpa reformasi birokrasi sangat rentan disalahgunakan, bahkan dibajak.
Baca Juga: Pemerintah akan Menerapkan Sertifikat Elektronik Pertanahan demi Mengerak EODB
KPA mengatakan, dari sisi pengguna (benefieries), sistem digitalisasi hanya akan ramah terhadap masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas, dimana akses teknologi dan infrastrukturnya sudah terbangun. Sebaliknya, banyak warga miskin di perkotaan, di perkampungan, pedesaan dan masyarakatnya akan tertinggal dalam proses yang hanya mengedepankan aspek teknologi tanpa pengakuan hak atas tanah dan reform terlebih dahulu.
“Remote areas ini, dimana bahkan fasilitas sekolah dan kesehatan yang memadai saja masih sulit dijangkau. Apalagi di area-area konflik agraria, dimana tidak tersentuh dukungan pemerintah dan pembangunan, sebab klaim konsesi masih bercokol,” ujar dia.
Selain itu, dari sisi orientasi politik agraria, khususnya pertanahan, prioritas kerja pada sertifikasi tanah termasuk digitalisasinya menunjukkan bahwa sistem pertanahan makin diorientasikan untuk kepentingan liberalisasi pasar tanah di Indonesia.
Sebab, sertifikasi tanah (hak milik, HGU, HGB, HP, dll.) tanpa didahului land reform dan Reforma Agraria hanya akan melegitimasi monopoli tanah oleh badan usaha skala besar. “Hanya mempermudah transaksi jual beli tanah bagi para pemilik modal,” tutur Dewi.
Selanjutnya: Pemerintah akan Menerapkan Sertifikat Elektronik Pertanahan demi Mengerak EODB
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News