Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun depan, pemerintah berencana menggunakan dana desa Rp 60 triliun untuk program padat karya. Niatnya guna mendistribusikan uang hingga desa-desa, agar kelak daya beli dapat terkerek.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Indef Bhima Yudhistira mendekati tahun politik, Pemilukada 2018, dan Pemilu 2019, program Padat Karya terkesan politis.
"Melihat momentumnya mendekati pilkada serentak di 171 daerah kebijakan padat karya terkesan politis," katanya kepada KONTAN, Senin (6/11) melalui sambungan telepon.
Meski demikian, ia menilai Program Padat Karya sejatinya akan berperan signifikan tingkatkan daya beli masyarakat. Lantaran konsumsi rumah tangga dapat meningkat, dari skema upah harian.
Asalkan ada pengawasan yang ketat, kata Bhima. Misalnya untuk memastikan dana desa digunakan secara tepat butuh peran auditor, baik dari pemerintah maupun independen.
"Pengawasan bisa melibatkan BPK, KPK dan auditor independen di 74 ribu desa. Jadi seluruh prosedur pencairan dana desa untuk program padat karya juga perlu diawasi lintas sektoral," sambungnya.
Kedua, soal rekrutmen pekerja. Bhima sebut seleksi pekerja harus tepat sasaran, misalnya bagi warga produktif desa usia 18 tahun-40 tahun yang tidak bekerja.
"Untuk validasi data tenaga kerja tugasnya BPS dan Kemensos," lanjutnya.
Selain berasal dari dana desa, Kementerian dan Lembaga pemerintah pun akan ikut serta dalam program Padat Karya ini.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) misalnya akan gelontorkan Rp 11,2 triliun, dimana Rp 2,4 triliun akan digunakan untuk belanja upah alias menggaji pekerja.
Dari Rp 11,2 triliun, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR misalnya akan dapat alokasi Rp 3,5 triliun dengan alokasi belanja upah sebesar Rp 800 miliar.
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Sri Hartoyo bilang, ia akan susun seleksi terkait pekerja program-program Padat Karya di Ditjen Cipta Karya.
Sebab, pada dasarnya program Padat Karya yang dilakukan Ditjen Cipta Karya telah dilakukan sebelumnya seperti Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas), Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), hanya saja dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
"Seleksinya mungkin akan berkelas, kalau hanya membantu ya kelasnya membantu tukang, kalau yang butuh tukang ahli kita tak perlu kasih masyarakat, harus tenaga ahli," kata Sri kepada KONTAN, Senin (6/11) di Kantor Kementerian PUPR.
Terkait pengawasan proyek, Sri juga menjamin agar pekerjaan dari pekerja yang berasal dari masyarakat ini mampu memenuhi target kualifikasi, dan kualitas.
"Kalau padat karya, seperti Pamsimas, Sanimas ada fasilitator di daerah-daerah dari PUPR," lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News