Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah diimbau untuk tidak labil dan asal-asalan saat membuat sebuah kebijakan, utamanya yang berkaitan daya beli masyarakat, seperti kebijakan administered price atau harga yang diatur pemerintah.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan, banyak wacana kebijakan pemerintah administered price pemerintah yang semakin tidak terkoordinasi. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat yang menurun, sehingga imbasnya pada penurunan pertumbuhan konsumsi.
Misalnya, pernah ada wacana pemerintah yang akan menerapkan kebijakan penggunaan tiket KRL menggunakan NIK, serta pembatasan subsidi BBM dan LPG 3 kg. Menurutnya wacana kebijakan tersebut tidak terkoordinasi sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Jadi pemerintah hanya melempar wacana mana yang diluar dilempar ke publik, kemudian kalau publik diam dilaksanakan, dan kalau publik bereaksi kemudian dibahas lebih detail, lalu mungkin pura-pura dihentikan, tetapi tidak ada kepastian hukum tentang itu,” tutur Eko dalam diskusi Publik Indef ‘kelas menengah turun kelas,’ Senin (9/9).
Baca Juga: Pemerintah Bisa Belajar dari Amerika Latin Dampak Buruk Hilangnya Kelas Menengah
Eko mencontohkan terkait kebijakan pemerintah yang mewajibkan pekerja swasta maupun negeri dengan minimal upah minimum untuk menjadi peserta Tapera. Publik pun bereaksi dan menolak kebijakan tersebut. Meski pemerintah terkesan membatalkan wacana tersebut, namun hingga saat ini belum ada kepastian hukum terkait pembatalan rencana tersebut.
“Sampai saat ini belum ada draft legal yang bisa membatalkan kebijakan ini, ya nanti 2027 akan berlaku kebijakan Tapera ini,” ungkapnya.
Permasalahan lain yang perlu dipertimbangkan pemerintah agar kelas menengah tidak menurun adalah terkait kebijakan tarif PPN yang naik dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025.
Eko menyarankan kenaikan tarif PPN tersebut sebaiknya ditunda demi menjaga daya beli masyarakat. Namun, permasalahannya kebijakan ini mengikat pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sehingga tidak mudah untuk mengubah atau menunda aturan tersebut.
Maka itu, Eko menyarankan agar saat pemerintah membuat kebijakan, maka harus dilakukan dengan kajian yang mendalam. Misalnya saja saat akan menaikan tarif tertentu dalam jangka panjang.
“Undang-Undang tanpa kajian yang mendalam, belum dilakukan saja konsumsi sudah ngerem, apalagi dilakukan. Pelaksanaannya hanya melihat kacamata kuda, nggak melihat realitas ekonomi yang sedang turun ini,” ujarnya.
Eko khawatir, bila kebijakan PPN ini tetap diterapkan tahun depan, maka pertumbuhan ekonomi di 2025 dikhawatirkan akan tumbuh dibawah 5%. Ini karena, salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi rumah tangga akan paling terkena dampaknya dari penerapan tarif tersebut.
Baca Juga: Minimnya Lapangan Kerja Layak Jadi Faktor Masyarakat Kelas Menengah Turun
Untuk diketahui, pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia belum kembali ke era pra pandemi Covid-19, atau tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada kuartal I 2024, pertumbuhan konsumsi hanya mencapai 4,9%, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11%. Sementara itu, pada kuartal II 2024 pertumbuhan konsumsi mencapai 4,9%, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News