kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Kasus Chevron ancam bisnis subkontraktor minyak?


Kamis, 25 September 2014 / 15:40 WIB
Kasus Chevron ancam bisnis subkontraktor minyak?
ILUSTRASI. Pada 5 April 2023 mencatat, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 821,19 triliun. . KONTAN/Cheppy A. Muchlis/04/12/2018


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Vonis kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) atas terpidana kontraktor PT CPI, Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo, disinyalir menjadi ancaman serius bagi perusahaan swasta yang menjadi sub-kontraktor perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan bisnis dengan pemerintah, BUMN atau BUMD.

Dalam putusan kasasi yang diketok oleh ketua majelis, Artidjo Alkostar, kedua kontraktor PT CPI ini divonis 5 dan 6 tahun penjara karena bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi Chevron. Padahal dalam dissenting opinion kasus Ricksy, hakim Agung Leopold Luhut Hutagalung menyatakan telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana itu.

“Apabila dibenarkan cara mengadili kasus seperti ini, implikasinya amat luas sehingga setiap perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan kontrak antara swasta dengan swasta lainnya akan selalu dapat dijadikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi jika salah satu pihak swasta tersebut secara kebetulan memiliki kontrak dengan perusahaan negara,” tulis Leopold.

Dalam pendapatnya, Leopold menjelaskan bahwa hubungan antara terdakwa Ricksy sebagai direktur PT Green Planet Indonesia (PT GPI) dengan Widodo dan Alexia (keduanya karyawan PT CPI) adalah hubungan perdata, yang dalam hukum perdata dianut kebebasan berkontrak dengan pihak-pihak yang berkontrak. Tidak ada pihak yang boleh mencampuri pihak swasta untuk berkontrak.

Jadi rujukan

Seperti diketahui, PT GPI dan PT SGJ mengikuti tender terbuka jasa-jasa pendukung proyek bioremediasi dan berhasil terpilih di antara para peserta tender termasuk mengalahkan perusahaan Edison Effendi, pihak yang menjadi saksi dan ahli di kasus yang menjerat Ricksy dan Herland ini.

Kedua perusahaan ini teken kontrak dengan PT CPI yang merupakan kontraktor pemerintah dan produsen minyak mentah terbesar di Indonesia. Kedua subkontraktor PT CPI ini menjalankan kegiatan dan memperoleh bayaran dari PT CPI untuk pekerjaan bioremediasi yang sudah selesai sesuai kontrak.

Alih-alih dapat untung dan menang tender lagi di tahun 2011, tiba-tiba mereka dituduh korupsi oleh Kejaksaan Agung karena proyek yang telah dijalankan sejak tahun 2006 ini dianggap fiktif. Tuduhan proyek fiktif ini didasarkan pada keterangan Edison Effendi yang juga pesaing bisnis mereka.

“Vonis ini sangat berbahaya karena bisa menjadi yurisprudensi. Ricksy dan Herland atau perusahaannya mestinya digugat dulu oleh PT CPI sebagai pihak yang berkontrak dengan mereka kalau ada masalah. Namun jika ini tidak terjadi maka pembayaran kepada mereka adalah sah sesuai kontrak,” ujar DR. Najib Ali Gisymar, SH, M Hum, Kamis (25/9).

Menurut pemerhati hukum kontrak PSC yang juga sangat peduli soal penegakan hukum yang adil ini, apabila proyek bioremediasi dibantu oleh subkontraktor lalu digugat oleh pemerintah dengan alasan apapun, maka sesuai dengan prinsip kontrak, pemerintah hanya boleh menggugat PT CPI saja sebagai pihak yang berkontrak dengan pemerintah dan memakai mekanisme penyelesaian perselisihan sesuai Kontrak Kerja Sama atau production sharing contract (PSC) .

“Sekali lagi, kalau PT CPI tidak pernah mengeluh atau menggugat soal pekerjaan kedua subkontraktor ini dan kenyataan bahwa uang PT CPI-lah yang dipakai bukan dari APBN, maka dakwaan korupsi terhadap kedua terpidana ini keliru,” imbuhnya.

Implikasi vonis kasasi pada kedua subkontraktor Chevron ini sangat serius, lanjut Najib. Menurutnya jaksa, polisi atau KPK bisa setiap saat menciduk perusahaan subkontraktor atas tuduhan korupsi apabila ada dugaan bahwa perusahaan yang berkontrak dengan pemerintah, BUMN, atau BUMD berpotensi merugikan negara.

“Jika putusan kasasi ini tidak segera dikoreksi misalnya dengan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) maka vonis ini menjadi yurisprudensi baru dimana setiap subkontraktor yang terlibat dalam sebuah kegiatan proyek dengan perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan kontrak dengan pemerintah, BUMN atau BUMD bisa diancam pidana korupsi meskipun subkontraktor tadi dianggap telah mengerjakan tugas dan dibayar sesuai kontrak,” lanjut Najib.

“Atas vonis dan kasus ini serta demi keamanan dan kelangsungan hidup perusahaan, para subkontraktor disarankan untuk menolak pekerjaan di bidang bioremediasi atau sejenisnya atau tidak perlu ikut tendernya. Biarkan masalah limbah menjadi urusan pemerintah dan hakim agung. Alasannya jelas karena subkontraktor pasti harus berkontrak dengan perusahaan migas yang berkontrak dengan pemerintah sehingga bisa dipastikan dapat menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana seperti Ricksy dan Herland,” tutur Najib. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×